Sabtu, 22 Agustus 2015

MERAHNYA TOMAT Di DADA KU

70 Tahun sudah Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka secara de Facto. Secara formal. Setelah sebelumnya selama berabad-abad Bangsa Indonesia dikuasai oleh Penjajah. Berabad-abad menjadi bangsa yang di "plekoto", menjadi Bangsa "kelas dua"..

Pembacaan teks Proklamasi 70 tahun yang lalu telah merubah segalanya. Bangsa yang tadinya begitu "inferior" ini mendadak menggelegak.. Teriakan-teriakan dan pekik-pekik kemerdekaan mulai menggelar di seluruh pelosok negeri.

Bangsa yang tadinya begitu patuh, merunduk bagaikan pelayan yang setia dan sedia di perlakukan sewenang-wenang mendadak berubah menjadi Bangsa yang begitu gagah berani.. Gelombang ribuan pemuda dengan sebagaian besar hanya membawa bilahan bambu runcing, dan tanpa sepatu menghadapi sebuah kekuatan salah satu Bangsa pemenang Perang Dunia Kedua di Surabaya.. Juga diikuti dengan beberapa pertempuran lainnya di Ambarawa, Medan dan berbagai tempat di pelosok negeri ini...  Dalam waktu yang sangat singkat ribuan pahlawanpun lahir di negeri ini. Kemerdekaan adalah segala-gala nya. Tidak ada lagi apapun yang memiliki nilai lebih dari itu, termasuk adalah jiwa atau nyawa.. Merdeka atau Mati ! Tidak ada pilihan lain selain hidup untuk Merdeka atau mati berkalang tanah. Merdeka !

Saat ini Indonesia sudah berusia 70 tahun. Sebuah usia yang cukup matang bagi sebuah Bangsa atau Negara. Namun di usianya yang sudah demikian matang, negeri ini kerap "tersedak-sedak".. Kadang kalau negeri ini sedang tersedak, membuat saya kerap "keselak-selak" saat tengah menyeruput wedang ronde di beranda rumah..

Kurang lebih seminggu sebelum peringatan 70 tahun Indonesia Merdeka, para petani di Cikajang-Garut, Jawa Barat membuang hasil panen tomatnya ke selokan. Kurang lebih 20 ton tomat pun tercecer di selokan tanpa arti, dan dalam waktu tidak lama pun akan membusuk tanpa bisa dinikmati sementara di sisi lain sebagian besar masyarakat saat ini berjuang dengan penuh peluh ataupun ada yang berusaha selalu berhati-hati menggunakan sisa jumlah uang dari pesangon yang diterimanya setelah terkena PHK massal yang sedang marak di negeri ini akhir akhir ini untuk membeli bahan kebutuhan pokok yang harganya semakin berat saat ini.

Para petani membuang tomatnya karena hanya dihargai 200 rupiah per kilogram, sementara biaya yang dikeluarkan oleh para petani itu untuk mengangkut tomat nya itu ke tempat pengumpulan sebesar 500 rupiah per kilogram. Biaya tanam dari para petani sebesar 3.500 rupiah per kilogram. Jadi para petani tomat tersebut mengalami kerugian 3.800 rupiah per kilogram. Sementara harga jual tomat di tingkat pedagang mencapai lebih kurang 30.000-40.000 rupiah per kilogramnya..  Sungguh angka-angka yang cukup mencengangkan.  Ini yang membuat tidak hanya saya saja yang ke "selak-selak", tapi mungkin juga bagi para pembaca semuanya..

Tata niaga bahan kebutuhan pokok rakyat yang sepertinya terlupakan (semoga terlupakan dan bukan tidak dipikirkan) mulai menunjukkan dampaknya dalam kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Penyerahan mutlak kepada mekanisme pasar dengan minimnya campur tangan pemerintah telah memberikan kekuasaan besar kepada para tengkulak, penyalur-penyalur besar dan para spekulan dan menghancurkan ekonomi para petani, pedagang eceran dan ujungnya para konsumen ya kita-kita ini.

Saat saya kuliah di Belanda lebih kurang 12 tahun yang lalu, saya pernah mengunjungi Surga Tomat di dunia yang terletak di Zweethlaan, Honselersdijk kurang lebih 5 km sebelah barat The Hague/Den Haag. Tempat itu berupa green house berukuran 1.500 m2. Dan di dalam green house tersebut berisikan kurang lebih 50 jenis tomat, dari yang kecil sampai yang besar, dari yang asam sampai yang manis dan dengan berbagai macam warna bang-jo-ning alias abang ijo kuning, merah hijau dan kuning.. Lebih asyiknya di situ kita bisa mencicipi tomat-tomat itu dan menikmati berbagai varian rasanya.. luar biasa.

Tidak heran Joss van Mil pemilik kebun tomat tersebut membangun sebuah green house tersebut sebagai pusat informasi, pendidikan dan berbagi pengalaman diantara para petani tomat yang ternyata setelah usut punya usut,  Belanda ini ternyata merupakan negara eksportir tomat terbesar dunia.. wah lha rak elok tenan dalam hati saya..negeri yang hampir separuh permukaannya di bawah permukaan laut ternyata bisa menjadi Surganya Tomat.  Pada tahun 2003 Belanda menduduki peringkat pertama yang menguasai 23,9% dari pangsa ekspor tomat dunia, yang diikuti oleh Spanyol 20,5%, Meksiko 20,5%, Belgia 6,5%, dan Kanada 5,5%.  Dan saya dengar dari teman saya di sana bahwa di tahun 2008 tempat itu resmi bernama Tomato World.. Luar biasa.

Prestasi yang luar biasa tersebut tercipta karena tentunya ada apresiasi yang luar biasa terhadap para petani tomat di Belanda, sehingga para petani di sana mampu memacu produksi tomatnya secara luar biasa.  Seandainya tidak ada perhatian dan apresiasi, tentunya nasib tomat di Belanda akan sama dengan di Indonesia saat ini, masuk dalam selokan-selokan dan tempat sampah dan dibiarkan terlantar hingga membusuk. Dan para petani Belanda akan beralih jadi buruh kasar dan negerinya akan dibanjiri oleh tomat impor dari Spanyol, Belgia, Kanada, tapi yang jelas bukan dari Indonesia..

Permasalahan tomat di Indonesia tidak terlepas dari tidak adanya tata niaga bahan kebutuhan pokok yang berimbas pada tersumbatnya jaringan distribusi yang dikuasai oleh sekelompok kartel yang bisa dengan leluasa menetapkan harga baik di tingkat petani/produsen maupun di tingkat konsumen/masyarakat yang mengakibatkan pukulan tidak saja hanya di terima di tingkat konsumen tapi juga di tingkat petani maupun para pedagang eceran yang berekonomi kecil-menengah. Situasi ini yang akan mengakibatkan hancurnya sektor produksi tomat.. Petani akan meninggalkan budi daya tomat, kapasitas supply tomat nasional menjadi turun dan akhirnya akan tergantikan dengan tomat impor. Hal inilah yang sudah terjadi pada komoditas-komoditas gula, garam, sapi,  dan lain-lain. Sungguh ironis bagi sebuah negeri yang secara geografis bak Surga di dunia dengan iklim tropisnya yang abadi dengan kesuburan tanahnya yang tinggi dan telah menjadi Legenda sebuah Negeri Agraris yang kaya raya.

Peran pemerintah sudah saatnya mulai diperbesar kembali dalam mengatur tata-niaga bahan kebutuhan pokok. Ekonom-ekonom Keynessian sepertinya perlu mengambil peran yang lebih besar dalam menetapkan kebijakan ekonomi nasional.  Redefinsisi Bahan Kebutuhan Pokok Nasional yang diikuti pemberdayaan Perum Bulog untuk kembali menjadi Bulog dalam arti yang sesungguhnya sepertinya sudah tidak bisa ditawar-tawar kembali.

Program percepatan infrastruktur adalah salah satu program nasional yang brilian dan tepat, namun tanpa diikuti oleh pembaharuan tata niaga kebutuhan pokok laksana kuda membawa pedati tanpa roda. Haruskah negeri yang kaya ini kehilangan tomatnya, sebagaimana telah kehilangan gula, garam, sapi, dan masih banyak lagi...

Sesruput wedang ronde malam ini serasa kurang nikmat..  Apalagi belum selesai membahas soal tomat, datang lagi masalah kenaikan harga ayam potong. Wah jan, mungkin ini yang dimaksud Bung Karno dalam pidatonya bahwa apabila Bangsa ini ingin menjadi Besar haruslah selalu dalam situasi digembleng.. Hampir hancur lebur..Bangkit kembali... Hampir hancur lebur..Bangkit Kembali !

Sabtu, 09 Januari 2010

Gulaku sayang ... Gula Indonesia


Saat melintas Pabrik Gula Gondang di wilayah Kabupaten Klaten dalam perjalanan saya dari Jogja menuju Solo, terbersit pemikiran untuk sedikit corat-coret tentang gula .. ditambah lagi dengan adanya berita yang saya baca salah satu artikel di Harian Kedaulatan Rakyat (KR) tgl 30 Desember 2009 tentang kenaikan harga gula dunia ....

Gula tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita, terlebih wong Yoja seperti saya ini... Di Jogja itu apa-apanya mesti pakai gula ... Pesan teh dengan hanya mengucap "teh" tidak perlu diberi embel-embel "manis" di belakangnya di warung-warung di pelosok negeri bumi Mataram ini pasti otomatis rasanya sudah manis, alias diberi gula. Jogja memang terkenal dengan makanannya yang dicap manis, meski oleh orang Solo, yang notabene saudara (sangat) serumpunnya itu. Gudegnya manis...ayam gorengnya juga manis...gule & tongsengnya manis ... sop nya juga manis...dan lebih lagi ada camilannya yang luar biasa manisnya yaitu geplak.. Salah satu makanan khas Jogja, berasal dari Bantul, yang terbuat dari kelapa yang diliputi dengan gula... Saking manisnya makanan ini, kadang gigi pun terasa linu saat mengunyahnya... tapi tetap maknyus, seperti kata Bondan Winarno. Tidak heran waktu saya kecil, saya kerap sekali mendengar kerabat kakek & nenek saya banyak yang terkena sakit gula alias diabetes..  kemungkinan besar karena saking tingginya budaya konsumsi gula saat itu.

Pabrik Gula Gondang ... tua, usang, kosong, dan tak terawat. Dari letaknya, saya yakin bahwa dahulu pada masa pra-kemerdekaan, pabrik gula itu adalah merupakan salah satu ujung tombak pemutar roda perekonomian Kadipaten Mangkunegaran, karena Kab Klaten masuk dalam yuridiksi wilayah Kadipaten tersebut. Pabrik Gula Gondang bak bayangan kejayaan gula masa lalu... ketika pada masa cultuur stelsel, ke-empat Swapraja dalam Vostelanden (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Paku Alaman) menjadikan gula sebagai salah satu komoditas pokok negerinya dengan membangun pabrik-pabrik gula di wilayahnya masing-masing. Perlu diketahui bahwa ternyata pada tahun 1930, negeri ini pernah menjadi exportir gula dengan jumlah ekspor mencapai 2,4 juta ton/tahun dari produksi nasional 3 juta ton/tahun (diatas dari produksi nasional saat ini) yang didukung 179 pabrik gula beroperasi aktif.

Meneruskan jalannya sejarah, pemerintah pun saat ini tetap menjadikan gula sebagai salah satu komoditas khusus, disamping ketiga komoditas lainnya yaitu beras, jagung, dan kedelai. Kalau beras, dan jagung sudah berswasembada, gula saat ini masih belum. Peningkatan konsumsi gula nasional yang tumbuh secara signifikan belum bisa diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi gula nasional. Konsumsi gula per-kapita di Indonesia mencapai 12 kg. Dan saat ini total konsumsi gula nasional mencapai 4,85 juta ton per-tahun. Dibandingkan dengan kapasitas produksi gula nasional saat ini yang baru mencapai 2,4 juta ton (data th 2007) dan target 2,8 juta ton pada tahun 2009 lalu, yang belum diumumkan apakah tercapai atau tidak hingga saat ini.. Mungkin berita tentang gula kurang begitu populer dibandingkan dengan topik berita "Bank Century" saat ini.

Permintaan gula nasional memang luar biasa... sungguh ironis melihat pabrik-pabrik gula usang tak terawat di tengah-tengah besarnya gap antara kebutuhan konsumsi dan produksi. Kadang saya membayangkan asap pabrik-pabrik gula tua itu mulai kembali "ngepul", atapnya yang bolong-bolong diganti dengan yang baru, dindingnya dicat lagi, lori-lori pengangkut tebu kembali berlalu lalang mengangkut tebu dari petani masuk ke dalam pabrik, dan puluhan atau ratusan pekerja aktif dalam pabrik, hitung-hitung bisa mengurangi tingginya angka pengangguran, atau mengurangi jumlah pengiriman TKI ke luar negeri. Dampak gula terhadap perkembangan ekonomi nasional dan perbaikan struktur ekonomi nasional seharusnya jauh lebih penting dibahas dibandingkan membahas berita-berita gosip yang sarat dengan politisasi..

Penurunan produksi gula nasional dimulai sejak diterapkan regim perdagangan bebas, dimana dalam satu dekade sejak 1994-2004 ditandai dengan pertumbuhan impor gula yang mencapai laju 7,8%/tahun dan penurunan produksi mencapai 1,8%/tahun. Hal ini sungguh ironis apabila dilihat dengan kemampuan penyerapan industri gula yang cukup tinggi (saat ini industri gula yang ada telah melipatkan 1,4 juta petani & tenaga kerja) serta tingginya beban devisa impor gula yang terus meningkat hingga saat ini sudah mencapai 200 juta US$ (data Dirjen Perkebunan, 2000). Lebih jauh lagi, gula yang masuk dalam kategori bahan kebutuhan pokok, secara otomatis berperan langsung dalam laju inflasi. Pengaruh inflasi bisa dilihat sekilas dalam posting Saksruput Tentang Inflasi. Dengan membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48% akan berpengaruh negatif terhadap upaya pencapaian ketahanan pangan (Pakpahan, 2000; Simatupang et al. 2000).

Kalau melihat kondisi di atas, kadang sangat mengganggu kenikmatan saya kala menyeruput secangkir wedang kopi "made in Indonesia" yang membanggakan ataupun semangkuk wedang ronde yang nikmat, karena saya selalu menyertakan 2-3 sendok teh gula pasir, yang hingga saat ini belum bisa membedakan mana yang gula impor mana yang bukan pada saat membeli..  Tambah tidak enak lagi apabila menikmati salah satu dari kedua minuman itu sambil membaca berita di koran kemarin Rabu, tgl 6 Januari 2010 kemarin yang memberitakan Bulog baru saja menanda-tangani kontrak impor gula dari Thailand. Kebijakan yang tidak enak tapi secara realita juga tidaklah bisa untuk dihindari mengingat stok gula nasional yang tidak mencukupi.

Semoga dengan diterapkannya Regim Kebijakan Terkendali yang mulai berjalan sejak tahun 2002 hingga saat ini, mampu untuk konsisten menaikkan produksi gula nasional sekaligus menciptakan Swasembada Gula di masa yang akan datang. Kebijakan terkendali ini diambil sebagai koreksi atas regim "Perdagangan Bebas" yang ditetapkan sejak 1994 - 2001 yang jelas secara nyata telah melemahkan industri gula nasional.

Alon-alon waton kelakon, begitu pameo yang saat ini berlangsung dalam pemulihan industri gula nasional. Perlahan, tapi pasti dengan tingkat laju pertumbuhan produksi 1%/tahun, tahun 2007 produksi gula nasional sudah mencapai 2,4 juta ton/tahun dari kemampuan produksi gula nasional yang hanya 1,7 juta ton/tahun pada akhir tahun 2001. Sebagai gambaran produksi gula nasional pada tahun 1994 sebesar 2,2 juta ton/tahun (hasil dari regim stabilisasi).

Semoga dengan terciptanya swasembada gula di masa mendatang, kita bisa dengan bangganya menyeruput secangkir wedang kopi yang 100% buatan asli negeri sendiri... Cangkir, sendok, kopi, dan gulanya asli dari Indonesia.

Kamis, 31 Desember 2009

Selamat Jalan Gus Dur ...


Tanggal 30 Desember 2009 di sore hari saat itu, selepas maghrib .. saya sedang "manteng" mengantri di warung Bakmi Pak Rebo di jalan Gondomanan (sekarang jl. Brigjen Katamso) ketika tersentak kaget membaca SMS dari istri saya yang mengabari kalau Gus Dur telah berpulang .... Sontak guyonan sy dengan para crew pemasak bakmi terhenti sejenak ....

Setelah sekian lama absen menulis di Blog, kemarin ketika melewati pabrik gula di Gondang dalam perjalanan saya ke Solo dalam rangka mau menunjukkan pada anak-anak saya tentang Keraton Surakarta, tiba-tiba saya terinspirasi untuk menulis sedikit tentang Gula ... suatu komoditi dunia yang tindak tanduknya sangat menarik untuk diulas... Namun peristiwa wafatnya KH Abdurrahman Wahid, membuat saya untuk sementara menggeser niat saya untuk menulis tentang Gula saat ini ...

Gus Dur, mungkin akan banyak orang sependapat kalau beliau itu memiliki kepribadian yang sangat unik... Sepak terjangnya selalu menjadi sorotan umum dan menjadi bahan polemik yang tidak habis-habisnya... Gus Dur selalu menyikapi suatu permasalahan dari sudut yang tidak biasa digunakan atau bahkan tidak terpikirkan oleh masyarakat pada umumnya, sehingga hal itulah yang menjadi pemicu munculnya polemik ataupun kritikan yang luar biasa tajamnya yang bahkan menyerang pribadi sang Kiai besar ini ...

Penerimaannya atas Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1983, tidak bisa dipungkiri merupakan suatu "terobosan" baru dalam dunia politik praktis di kalangan parpol & ormas Islam saat itu ... Dasar pemikirannya yang berusaha untuk semakin mem-bumi-kan Islam semakin terasa ketika Gus Dur memimpin NU utk kembali ke khittah, dengan menjauhkan diri dari dunia politik praktis, yang dianggapnya hanya akan membuat NU menjadi sesosok menara gading di tengah-tengah masyarakat yang mebutuhkan oase ke Islam an...

Kecurigaan masyarakat kepadanya atas kemungkinannya bermain mata dengan penguasa saat itu di era Orde Baru pun semakin memudar dengan kejelasan dan ketegasan sikapnya dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah saat itu yang dianggapnya menyimpang dan terakhir keterlibatannya penuh dalam proses Reformasi di tahun 1998 ...

Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, juga tidak merupakan gaya dan karakter yang dimilikinya ... Diluar dari sepak terjangnya yang penuh dengan kontroversi, komitmennya untuk menjaga keutuhan bangsa dan usahanya untuk menjadi bapak yang "baik" dan "ngayomi" rakyatnya, membuatnya untuk bisa meyakinkan seluruh pihak terutama pendukungnya untuk mau mendukung Megawati maju dan memenangkan pemilihan Wakil Presiden, untuk meredamkan panasnya situasi politik saat itu. Keputusannya yang tegas untuk menerapkan "darurat militer" di Maluku, menyelamatkan umat Muslim dari pembantaian masal di wilayah itu. Keinginannya untuk menekan praktek korupsi di pemerintahanpun sangat terlihat baik dari ucapan mau tindakannya, dengan melakukan reformasi birokrasi yang cukup radikal dan membuat semua orang terhenyak melihatnya, meski belum adanya sistem pemberantasan korupsi yang efektif saat itu ...

Terkadang kita semua harus lebih bijaksana dan cermat dalam menyikapi seluruh sepak terjang Gus Dur yang penuh kontroversial itu. Masih teringat jelas bagaimana Gus Dur dihadapkan pada kemarahan sebagian besar kelompok muslim, ketika menyampaikan pendapat dan keinginannya untuk membangun hubungan dengan Israel... Mungkin saatnya kita merenung saat ini, apakah Gus Dur sedang berusaha menyampaikan pesan-pesan kepada kita semua, bahwa selama ini meski di tutup-tupi, hubungan antara Indonesia dan Israel memang sudah ada, kenapa pula harus dipungkiri... atau justru memang Gus Dur bermaksud memancing opini rakyat Indonesia yang sesungguhnya yang nota bene tetap mendukung perjuangan bangsa Palestina yang tertindas di negerinya sendiri untuk merdeka, guna menjauhi segala hubungan apapun dengan Israel. Bukankah ini merupakan wahana dirinya untuk mendidik bangsa ini?... Tegurannya kepada para anggota legislatif yang sempat membuat panas telinga, juga bisa disikapi dengan niatnya untuk mendidik bangsa ini untuk tidak terlarut pada "eforia demokrasi" yang keblinger atau kebablasan dimana "perbedaan" lebih ditonjolkan daripada "tujuan besar" yang harus dicapai bersama-sama. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya saat itu, dan di masa "transisi" politik yang sulit saat itu, Gus Dur telah menunjukkan komitmennya yang luar biasa untuk negeri dan bangsanya, yang berujung pada pengorbanan dirinya yang luar biasa untuk turun dari jabatannya selaku Presiden Republik Indonesia di tengah-tengah masa jabatannya.

Terlepas dari berbagai polemik mengenai diri beliau. Gus Dur tetap seorang negarawan sekaligus pendidik yang baik. Pengetahuan yang sangat luas membuatnya kadang atau bahkan sering berhadapan dengan masyarakat yang belum bisa memahami maksud dan tujuan dari tindakannya... Kelugasan dan keterus terangannya dinilai "aneh" di tengah situasi dimana eforia sikap "ketidak-jujuran" melanda negeri ini. Gus Dur bak Ki Lurah Semar bagi negeri ini.

Dalam etimologi Jawa, para pemimpin di negeri ini sesungguhnya adalah keturunan Pandawa dalam dunia pewayangan.. Dan keberadaan Semar sebagai pembimbing Pandawa tidak bisa tidak untuk diabaikan. Semar di sebut juga sebagai Badranaya, Badra artinya membangun sarana dari dasar, Naya atau Nayaka artinya yang ditugaskan. Jadi Badranaya adalah seseorang yang ditugaskan (dari Tuhan) untuk membangun karakter manusia. Semar sendiri berasal dari Haseming Samar-Samar merupakan wujud dari fenomena harafiah atas kehadiran dan tuntutannya yang samar-samar, yang perlu kajian dan pengamatan yang lebih dalam untuk kadang bisa mengerti ucapan maupun perilakunya. Semar itu tidak jelas, apakah dia lelaki atau wanita.. karena dia mampu untuk mengakomodir semua keunggulan lelaki maupun wanita dalam sosok tunggal dirinya. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar berjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”. Menghadap ke atas juga bisa diartikan dengan komitmennya untuk menyampaikan keterus terangan.. ke-apa ada nya tanpa embel-embel kepada setiap manusia yang ada di hadapannya. Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.

Dan saat ini, memasuki penghujung tahun 2010, kita semua telah kehilangan "Semar" negeri ini... Kehilangan yang cukup mengejutkan di tengah-tengah eforia semangat untuk menyongsong tahun 2010 sebagai tahun yang diharapkan akan lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di saat bangsa Indonesia masih terus harus membenahi dirinya... di saat kehadiran sosok "Semar" masih sangat diperlukan oleh bangsa ini.

Ya Allah, Sang Pencipta Alam Semesta Yang Maha Esa... kiranya Engkau memberikan yang terbaik bagi salah satu putera terbaik mu ini, untuk mendapatkan tempat yang terbaik di sisi Mu. Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk membalas segala jasa-jasa seorang KH Abdurrahman Wahid kecuali dengan memanjatkan doa ini kepadamu. Selamat jalan Gus Dur... selamat menemui Sang Khalik bisa memenuhi rasa kerinduanmu kepadaNya.

Kita hanya bisa berharap akan ada lagi Semar-Semar baru yang akan muncul untuk memberikan pencerahan kepada kita semua...karena hakikat Semar tidak akan pernah bisa mati.

Minggu, 09 November 2008

Kebijakan Energi ... Quo Vadis..?


Berbicara tentang situasi ekonomi di tanah air saat ini, pastilah mau tidak mau harus up-date dengan pergerakan ekonomi dunia...Bagaimana tidak wong kita ini sudah mendeklarasikan jadi turut dalam kancah globalisasi ekonomi dunia kok. Ketika harga minyak dunia menyentuh level rekor tertinggi di kisaran 125 USD per barrel pada medio Mei 2008, maka negeri inipun diguncang dengan kenaikan harga BBM, yang menuai polemik dimana-mana... Dan saat kenaikan harga BBM pun diperlakukan, dan polemik-polemikpun mereda, ketika masyarakat sudah mulai ber"evolusi" menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru...kembali masalah barupun muncul. Harga minyak dunia yang sempat "tenger-tenger" di atas, kembali melorot tajam di awal November hingga mendekati kisaran 65 USD per barrel pada akhir Oktober 2008...suatu pergerakan harga yang fantastis jika dilihat dari usianya yang tidak lebih dari 5 bulan...Kembali isu BBM pun memanas...sekarang masalahnya bukan "naik"nya tapi "turun" nya... Ujung dari setiap polemik mengenai masalah BBM ini sebenarnya adalah dari setiap kebijakan menaikkan atau menurunkan harga BBM ini sebetulnya siapa tho yang diuntungkan...Itulah pokok permasalahannya. Kalau perkara "merugikan", atau "dirugikan", saking seringnya mungkin sebagian masyarakat negeri ini merasakannya, jadi sepertinya daya tahan kekebalan tubuh alami nya sudah cukup kuat untuk tidak perlu mempersoalkannya. Bicara BBM tidaklah bisa lepas dengan kebijakan energi negeri ini, yang hingga saat ini sepertinya dirasakan masih "terbang di awang-awang" bagai "pungguk merindukan rembulan".

Kalau bicara soal Energi termasuk di dalamnya BBM, saya sering tidak "dong" atau paham...kalau harga naik, seolah-olah negeri ini turut mengalami kesulitan, tapi kalau harga turun ya sama saja, negeri ini yo tetap mengalami kesulitan dengan turunnya harga... Lha naik sulit, turun sulit...yak opo...sepertinya kok tidak ada pilihan yang enak.. Saya mencoba membandingkan dengan melihati ke Pak Toyo, penjual sate kere di Pasar Bringharjo, Jogja...kalau harga bahan bakunya naik dia memang merugi tapi kalau turun, dia senang "wong" untungnya jadi banyak..jadi ada pilihan yang enak... Padahal Pak Toyo itu hanya lulusan SD katanya...tapi dia memiliki kemampuan untuk mengambil manfaat dari situasi yang ada.. Kok BBM tidak bisa seperti Sate Kere ..? Apa jangan-jangan lebih baik negeri ini banting stir menggenjot produksi Sate Kere daripada BBM..? Yah mungkin pikiran saya yang tidak sampai...tapi komparasi yang menggelikan antara BBM dan Sate Kere, menurut saya patut untuk menjadi perhatian.

Presiden Sukarno dalam salah satu tulisannya "Shapping dan Reshapping" pada tahun 1957 an, menyebutkan dengan mengutip Hilverdink bahwa Imperialisme Belanda yang bekerja di Indonesia adalah Imperialisme Finance-Capital..salah satu bentuk Imperialisme yang memfokuskan pada penanaman modal yang mengarah pada eksploitasi sumber daya alam yang kemudian hasil dari eksploitasi itu di ekspor ke negara asal penjajah...Sumber daya alam Hindia Belanda dihisap sebanyak-banyaknya untuk di jual ke luar negeri....

Kalau dilihat perihal tata niaga sumber energi alam negeri ini, lha seolah-olah tidak menggubris, tidak ambil peduli, terhadap buah pikiran tokoh perintis kemerdekaan itu, yang sudah merelakan hari-harinya dihabiskan dalam penjara kolonial, menempuh resiko memproklamasikan kemerdekaan negeri ini...Undang-Undang No. 22/2001, yang pembuatannya banyak dipengaruhi campur tangan IMF, saja mengatur bahwa dari produksi gas alam cari nasional, 75% nya dijual ke luar negeri, dan 25% untuk kebutuhan dalam negeri...Komposisi tersebut berlaku sama dengan batu bara nasional...Jadi tidaklah mengherankan kalau di Indonesia terjadi krisis energi...harga minyak mahal, listrik byar pet ...jangankan di pedesaan, di kota-kota besarpun sudah mulai digilir jadwal "byar pet"nya.... Bahkan Pembangkit Tenaga Listrik di Cilacap pun pernah berhenti beroperasi karena pengiriman batu bara terlambat...kesulitan mendapatkan batu bara di suatu negeri yang merupakan salah satu dari enam negara produsen batu bara terbesar di dunia....Jadi kalau ada pepatah, kelaparan di lumbung padi...mungkin realita ini lah yang sedang dialami negeri ini untuk masalah energi..Bagaimana mungkin bisa mengembangkan energi alternatif minyak bumi jika sumber-sumber energi alternatif yang ada seperti batu bara dan gas alam, hanya di eksploitasi besar-besaran bagi negeri di luar sana... Kalau melihat Cina, maka justru 100% dari produksi nasional batu baranya diserap habis..bis untuk kebutuhan nasionalnya, bahkan cenderung import jika produksinya tidak mencukupi, jadi tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan terjadi di negara itu...

Memang ada yang menggunakan alasan bahwa produksi nasional jauh di atas kebutuhan nasional, sehingga konsentrasi ekspor dilakukan untuk memperkuat devisa negara...tapi apa ya se "pendek" itu dasar kebijakan tata niaga tersebut ditetapkan. Tidakkah pertumbuhan kenaikan harga minyak bumi, listrik yang byar-pet, dan masih banyaknya daerah-daerah yang dialiri listrik menjadi pertimbangan... Bukankah listrik di masa millenium ini tetap menjadi infrastruktur utama bagi bergulirnya roda ekonomi suatu daerah, masyarakat, dan negara... Memang fenomena budaya instan tengah melanda bangsa ini, sebagaimana pernah diulas oleh Bung Radhar Panca Dahana, salah seorang pemerhati budaya... Manusia Indonesia kini, menurutnya, lebih senang menonton hiburan yang melegakan daripada membahas dan mencari solusi hidup yang kian rumit... Lebih berkhayal tentang sukses yang gampang (lotere, undian SMS, atau korupsi, misalnya..) ketimbang "kerja yang keras dan susah"... Lebih suka bagi-bagi atau terima uang trilyunan rupiah dibandingkan dengan menciptakan lapangan kerja...

Ulasan Bung Radhar serasa cocok jika dikaitkan dengan fenomena kebijakan energi nasional dewasa ini...dengan ekspor, maka hasilnyapun lebih instan, tanpa harus bersusah payah membangun sendiri infratruktur2 pembangkit energi nasional, tanpa perlu repot memikirkan lapangan kerja apa yang cocok dan sesuai dengan masyarakat daerah tersebut... Dengan ekspor, aliran kas pun lancar, tanpa perlu bekerja keras.....devisa nasional semakin kuat. Devisa nasional yang kuat mampu menciptakan ilusi yang ampuh...mengesankan bahwa negeri ini bergerak menuju kemakmuran... Ilusi yang membanggakan tapi cukup membutakan atas realitas sosial yang terjadi sesungguhnya di tataran masyarakat.

Hal ini bisa dilihat dengan masih tingginya tuntutan rakyat akan rendahnya harga BBM... suatu tuntutan yang sebetulnya kurang rasional jika melihat bahwa dengan tidak lagi tingginya produksi nasional serta semakin tipisnya cadangan minyak bumi nasional, tidaklah mungkin untuk mengharapkan rendahnya harga BBM di negeri ini.. Di satu sisi, tingginya subsidi pemerintah nasional pada sektor BBM, membuat negeri ini menjadi tidak lincah dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi nasionalnya...Subsidi yang seharusnya lebih layak untuk dialokasi kan pada peningkatan sumber daya manusia, seperti sektor pendidikan, atau sektor pembangunan infrastruktur-infrastruktur perekonomian untuk meninggkatkan daya beli nasional, akhirnya dikorbankan hanya untuk menopang rendahnya harga BBM, yang nota bene terlalu dipaksakan... Tapi di satu sisi bagaimana BBM akan dicoret dari daftar tuntutan rakyat yang dominan, jika energi alternatifnya tidak ada... Bagaimana rakyat mau mengganti minyak tanah dengan LPG, kalau LPG nya kurang dan bahkan sering menghilang di pasaran...malah diekspor terus... Bagaimana PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) bisa dikonversi menjadi PLTU Batu Bara jika batu baranya masih sulit dijamin kontinuitas supplynya, karena terus menerus diekspor...

Sudah saatnya rakyat Indonesia sebaiknya bisa menikmati sumber daya alamnya sendiri, dibandingkan bangsa-bangsa di luar sana.. Masih ada kesempatan untuk merevisi dan memperbaiki kebijakan energi nasional dengan memprioritaskan kepentingan nasional terlebih dahulu..Menjelang habisnya masa kontrak2 penjualan dengan negara-negara pembeli, sudah saatnya pemerintah dan perusahaan-perusahaan energi nasional untuk mulai menggalakkan pembangunan terminal2 sumber energi (LNG atau Batu Bara) di setiap daerah yang kelak mampu meningkatkan distribusi energi ke segenap penjuru tanah air.. Dengan kesiapan infrastruktur distribusi nasional menjelang berakhirnya masa kontrak penjualan energi ke luar negeri, diharapkan kemampuan domestik untuk menyerap kapasitas produksi nasional pun dapat meningkat dengan tajam.. Tidak ada lagi byar pet listrik, Listrik Masuk Desa yang 20 tahun silam kerap didengarpun akan dapat kembali didengungkan, gas LPG untuk kebutuhan sehari-hari mudah didapat, dengan cukupnya kebutuhan energi alternatif, maka rakyatpun tidak akan terlalu banyak menuntut akan tingginya subsidi BBM.. Adalah menjadi sesuatu yang sempurna jika subsidi yang diperuntukkan untuk menopang harga BBM dapat dialihkan pada sektor2 pendidikan, dan pembangunan infrastruktur-infrastruktur ekonomi...

Masih ada kesempatan untuk merubah situasi, meski harus sabar menunggu karena rata-rata masa kontrak penjualan energi ke luar negeri itu berakhir hingga 2011...tapi itu lebih baik daripada tidak dilakukan sama sekali. Akan tetapi kembali, segala sesuatunya bisa terjadi, bahkan pada kondisi yang absurd sekalipun... Di situasi ini budaya memegan peranan yang sangat penting sekali, karena budaya mampu mengalahkan rasio dan logika berpikir... Jika budaya instan sebagaimana yang dikatakan Bung Radhar, masih melekat kuat pada pemegang kebijakan-kebijakan publik negeri ini dan juga masyarakat pada umumnya, maka perubahan arah kebijakan energi akan sulit diramalkan....Kebijakan Energi Nasional, Quo Vadis?"

Jumat, 31 Oktober 2008

Tahta Untuk Rakyat ...sebuah Renungan Kritis


Hari Selasa, 28 Oktober 2008, mungkin akan menjadi hari yang sulit dilupakan bagi kawula Yogyakarta..Karena bersamaan dengan Hari Sumpah Pemuda, di Alun-Alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat digelar acara Pisowanan Ageng, suatu wujud simbolisasi kesetiaan rakyat pada rajanya. Yang menjadi istimewa bukan Pisowanan Agengnya...yang jadi istimewa adalah sang Ngarsadalem, Sri Sultan, mengeluarkan statement nya untuk maju sebagai pemimpin nomor satu negeri ini. Suatu statement yang sudah cukup ditunggu oleh sebagian kalangan bangsa Indonesia.. Dan kawula negeri Yogyakarta yang hadir pun sontak memberikan dukungan tanpa reserve...

Peristiwa ini cukup menarik dicermati, karena statement Ngarsadalem itu dinyatakan saat RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masih sengit digodog bagaikan "bakmi godog" di kalangan para wakil rakyat, yang begitu cerdas dan jelinya sehingga membutuhkan waktu sekian lama untuk memasaknya... Dulu waktu saya kuliah, kalau mau makan Bakmi Godog atau Bakmi Jawa, yang paling enak saat itu adalah Bakmi Moendijo, yang lokasinya persi di pertigaan jalan Bu Ruswo dengan jalan Gondomanan (jl. Brigjen Katamso sekarang). Bakminya eunak tanpa tanding...tapi kalau mau makan di situ minimal waktu tunggunya rata-rata 1 jam...meski begitu yang berkunjung, wah sampai antri untuk mendapatkan kursi...lha rak ampuh tenan. Semoga RUU yang "godog"nya lama ini akan bisa tersaji dengan enak dan memuaskan semua pihak sebagaimana Bakmi Moendijo, sehingga masyarakat terutama kawula Jogja yang sudah rela menunggu lama rela dan ikhlas menerimanya. Tidak dibayangkan kalau para pelanggan Bakmi Moendijo yang sudah rela menunggu 1 jam, bokong panas, badan keringatan, tahu-tahu Bakminya tidak enak...wah mungkin pada "misuh" atau menyumpah, bahkan lebih ekstrimnya lagi sang kokinya tidak bisa dipercaya lagi...dan orang-orang akan lebih senang cari bakmi godog di tempat lain.

RUU Keistimewaan (RUUK) Jogja saat ini sedang bergulat sambil tarik ulur, bagaikan kombinasi antara olah raga gulat dan lomba layang-layang...Kuncinya adalah di seputar peran Sri Sultan dan Sri Paku Alam. Masing-masing pihak saling berusaha memperjuangkan aspirasinya masing-masing....dari versi pemerintah mendudukkan kedua tokoh "mainstream" Yogyakarta itu sebagai Pararadya ... selayaknya pemangku adat. Fungsinya bersifat sangat normatif..dimana kedua tokoh itu hanya berfungsi memberi restu, tanpa kekuatan politik sama sekali. Sedangkan dari DPRD DIY mengajukan prinsip2 monarki konstitusional dimana Ngarsadalem dan Sri Paku Alam, memiliki wewenang politik yang lebih luas mencakup kewenangan menyetujui calon gubernur, veto terhadap keputusan-keputusan DPRD maupun gubernur, dsb.. Gubernur dan wakil gubernur akan dipilih melalui mekanisme demokrasi sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia. Tapi ada lagi pihak yang tetap menginginkan posisi Gubernur/Wakil Gubernur tetap dijabat oleh Ngarsadalem dan Sri Paku Alam...

Yogyakarta memang unik...dengan modal kearifan dua penguasanya semenjak kemerdekaan Republik ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Sultan Hamengku Buwono X, membuat kedudukan Sultan atau Raja begitu melekat di hati rakyatnya. Adalah sulit melepaskan Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, dan Sultan Yogyakarta...Berbeda dengan daerah2 lainnya di Indonesia yang nota bene juga dahulunya berupa kerajaan sebagaimana Kasultanan Yogyakarta. Dengan 3 falsafah kepemimpinan Sultan Yogyakarta, sebagaimana dinyatakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X saat penobatannya, sebagai sebuah tekad yang melandasi kepemimpinannya...maka semangat "Tahta Untuk Rakyat" yang menjadi idealisme Sri Sultan Hamengku Buwono IX, semakin diperkokoh pondasinya. Hamengku, Hamangku, dan Hamangkoni...itulah makna dari Hamengku Buwono sebenarnya. Sekilas mirip tapi ketiga idiom itu memiliki arti yang berbeda.

Makna Hamengku lebih pada penghargaan dan penjunjungan akan nilai-nilai dan harkat kemanusiaan yang menjadi tekad seorang Pemimpin untuk melayani kaum yang dipimpinnya. Hamangku menitik beratkan pada pengayoman, penerapan asas-asas keadilan, memberi semangat dan motivasi, serta konsistensi dalam penegakkan hukum. Sedangkan Hamangkoni adalah fungsi keteladanan, dimana Pemimpin harus menempatkan dirinya sebagai teladan atau panutan pada kaum yang dipimpinnya...

Sudah saatnya sebagian kawula atau rakyat Jogja yang saat ini masih menuntut rajanya untuk tetap menjabat sebagai Gubernur, untuk dapat lebih "legawa"...lebih "ikhlas" untuk menyumbangkan rajanya yang "agung" demi kepentingan yang lebih besar...demi para kawula dari provinsi lain..Bukankah rakyat Indonesia yang lain perlu untuk di "Hamengku", "Hamangku", dan "Hamangkoni"... Terus kalau nanti kalah bagaimana?...Jangankan untuk Pilpres...di konvensi partai yang diikuti Ngarsadalem pun, pertarungan pastilah sangat sengit. Tapi bukankah Ngarsadalem tetap seorang Raja..Sultan. Dengan konsep RUUK yang dibawa oleh DPRD DIY, beliau bak seorang Raja di Yogya, sebagaimana Bumiphol Adulyadei di Muang Thai ataupun Queen Elizabeth II di Inggeris. Beliau punya kekuasaan untuk memimpin negerinya, mesti tidak memerintahnya secara langsung. Beliau berhak mengevaluasi segala kinerja baik dari lembaga eksekutif dan legislatif daerahnya... Bukankah suatu realita yang patut diterima di zaman demokrasi ini bahwa kedudukan raja sebagaimana diinginkan oleh Olivier Cromwell di Inggeris atau oleh Camille Desmoulint, tokoh Revolusi Perancis di Paris, saat awal Revolusi Perancis, bahwa "The King should stay to reign, but not to rule", Raja tetap Berkuasa tapi tidak lagi memerintah...karena pemerintahan di jalankan rakyat melalui mekanisme demokrasinya. Dengan mekanisme ini maka fungsi "Patih" atau Prime Minister bisa dijalankan oleh Gubernur... Atau untuk lebih menjaga keutuhan legitimasi Keraton Ngayogyakarta, bisa saja Ngarsadalem menganugerahi Gubernur terpilih dengan gelar patih Kasultanan Yogyakarta, yaitu Kangjeng Raden Adipati Danureja....Dengan adanya patih atau gubernur, maka Kasultanan Yogyakarta akan memiliki ketahanan yang lebih kuat untuk mengarungi berjalannya zaman... Jabatan rangkap Sultan dengan Gubernur akan menghadapi resiko yang tinggi jika kapasitas sang raja atau "Sultan" yang menjabatnya tidak mencukupi.. Memang Ngarsadalem dan pendahulunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki kapasitas yang cukup, tapi kita tidak tahu bagaimana kapasitas Sultan yang berikutnya...

Patut juga untuk direnungkan...bahwa dahulu saat Gusti Raden Mas Dorojatun (kelak sebagai Sri Sultan HB IX) berani menolak term-term kontrak yang diajukan pemerintah penjajahan Belanda, bukankah saat itu masih ada Patih Danureja. Pada masa reformasi 1998, saat Ngarsadalem membacakan maklumat di Alun-alun Utara, Yogyakarta, beliau belum menjabat sebagai Gubernur DIY..Mungkin akan berbeda alur sejarahnya apabila kondisinya berlainan dengan saat itu. Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa Raja atau Sultan akan lebih mampu untuk menjalankan fungsi utamanya sebagai seorang Raja jika tidak terikat dengan tugas-tugas administratif pemerintahan...Raja memiliki ruang gerak yang lebih bebas...untuk bisa Hamengku, Hamangku, dan Hamangkoni para kawulanya..Urusan pemerintahan dan administrafif pemerintahan biarlah para wakil rakyat dan gubernur pilihan rakyatlah yang mengurusinya..Bukankah Sri Sultan HB IX sudah menegaskan bahwa "Tahta untuk Rakyat"..

Seharusnya perhelatan untuk RUUK DIY ini dapat segera diakhiri... Pemerintah pusat harus lebih legawa untuk memberikan kesempatan bagi "kawula" Yogyakarta yang telah setia berkomitmen bagi terlahirnya republik ini untuk tetap dapat mengaktualisasikan dirinya dalam terwujudnya aspirasi mereka. Biarkan Kasultanan Yogyakarta dan pemerintahan daerahnya berdiri sebagaimana keinginan mereka.. Disatu sisi para kawula Yogyakartapun akan merelakan rajanya..Sultannya..untuk maju ke gelanggang pilpres .. maju untuk menjadi milik Bangsa.

Senin, 27 Oktober 2008

Saksruput Tentang Inflasi ....


Sewaktu saya mendapat tugas belajar ke Arnhem, sebuah kota di negeri Belanda, kurang lebih 4 tahun silam... saya terus terang agak terkejut saat membeli 1 ekor ayam potong di sebuah toko swalayan dengan harga 2 euro atau senilai dengan 24.000 rupiah dengan kurs saat itu... Lha saya ingat sekali istri saya membeli ayam potong di bekasi harganya lebih kurang 20.000 rupiah.. Terus terang saya waktu itu sempat terheran-heran, di sebuah negeri yang pendapatan perkapita penduduknya 5 - 8 kali lebih besar dari penduduk di Indonesia, harga seekor ayam potongnya kok hanya berselisih sedikit. Padahal untuk cost berternaknya pasti jauh lebih tinggi di Belanda daripada di Indonesia... Wong saya saja yang nyambi jadi schoonmak alias pelayan pembersih restaurant saja dan notabene pekerja illegal lagi, digaji 8 euro atau setara 90.000 rupiah per jam...bagaimana dengan gaji si pekerja peternakan yang tentunya 3-4 kali lipat dari saya, belum pakannya, pembuatan kandangnya, dan lain-lain yang jelas jauh lebih tinggi dari di Indonesia...Terus terang tidak habis berpikir saya saat itu.

Memang kalau waktu itu ditarik ke belakang sepuluh tahun yang lalu, harga ayam potong di Indonesia mungkin masih di seputaran 8.000 rupiah per ekor, dan saat saya tanyakan kepada teman kuliah saya yang asli orang Belanda, berapa harga ayam 10 tahun yang lalu... dia menjawab harganya ya segitu, 2 euro itu alias 24.000 rupiah.. Karena saya hidup dan besar di sebuah negeri yang harganya selalu berubah naik dari tahun ke tahun, tentunya lumayan tercengang dan sekaligus kagum mendengar bagaimana harga di Belanda begitu stabil.. Saya gak terbayangkan betapa besarnya kenaikan pengeluaran sebagian masyarakat Indonesia tiap tahunnya, jika dilihat dari salah satu contoh kasus ayam potong di atas. Dulu waktu saya masih mahasiswa, kalau saya mau mengganjal isi perut saya di sore hari, biasanya tahu goreng lah jadi incaran favorit saya. Dua puluh tahun yang lalu, saya punya uang 500 rupiah saya bisa dapat 10 buah kadang tambah 1 bonus jadi 11... Sekarang kalau saya punya 500 rupiah saya hanya bisa mendapatkan 1 buah tahu goreng...

Headline di koran-koran saat ini sedang mengangkat topik adanya Inflasi 11% dan Kenaikan Upah dibatasi tidak boleh lebih dari 6%... Kembali rakyatpun mengeluh, nilai riil pendapatan mereka kembali turun.... Saya masih ingat sekali dan seakan menjadi sesuatu yang cukup jelas, bahwa upaya yang paling diminati pemerintah dalam menyikapi inflasi sejak jaman dahulu kala adalah dengan menaikkan gaji/upah, dengan alasan agar pendapatan riil masyarakat dapat dijaga, akan tetapi setelah kenaikan gaji/upah diumumkan, kembali harga-harga kebutuhan masyarakatpun ikut merangkak naik...begitu seterusnya...kenaikan harga dan kenaikan gaji/upah bagaikan bertarung di sirkuit balapan yang saling berlomba=lomba berpacu tanpa ending yang jelas....ujung-ujungnya selalu yang kalah adalah kenaikan gaji/upah...

Terus terang hal tersebut membuat saya jadi ingin mencari tahu, kenapa ya kok bisa ada inflasi...opo ya "sejatining inflasi" itu sebenarnya...yang kalau di negara-negara maju, inflasi bak monster raksasa yang sangat ditakuti, tapi di sini yang sudah terbiasa dengan inflasi dua digit, bagai kafilah berlalu.... Mungkin hampir kita semua tahu kalau inflasi itu disebabkan karena terlalu banyaknya uang yang beredar di masyarakat, inilah mungkin yang membuat dilakukannya tied money policy sering dilakukan dilihat dari tingginya suku bunga dengan rata-rata 15% pada masa lalu ..Hanya saja menurut Keyness, beredarnya uang di masyarakat itu hanyalah merupakan dampak dari hasi proses kelancaran produksi-distribusi-konsumsi dalam suatu proses ekonomi....

Uang otomatis akan bertambah peredarannya di masyarakat apabila harga2 mengalami kenaikan akibat permintaan yang berlebih...Permintaan yang berlebih bisa diakibatkan karena kekurangan kapasitas produksi atau kekurangan dalam jaringan distribusi. Jadi untuk menekan harga agar tidak mengalami kenaikan maka dua sektor itulah yang sepertinya harus diperhatikan yaitu peningkatan kapasitas produksi, dan peningkatan/perbaikan jaringan distribusi... Sewaktu saya tiba pertama kali di Belanda, saya sangat kagum mungkin mendekati gumun (heran), melihat bagaimana di area lahan pertanian gandum selalu berdiri silo2 (granary) yang merupakan lumbung gandum, dan jalan2 raya yang besar dan bagus selalu terhubungkan dengan silo2 itu. Bahkan pada area tertentu tidak dimungkinkan akses jalan, dibangun kanal2 sungai yang menuju ke arah silo2 itu... Dan ini tidak hanya untuk lahan pertanian saja, tapi juga peternakan, dan sektor2 industri lainnya. Saya baru menyadari betapa seriusnya mereka memperhatikan kedua sektor ini..

Pemerintah Belanda tidak pernah menaikkan standar gaji/upah, yang mereka perhatikan adalah cost atau biaya. Apabila ada suatu barang kebutuhan masyarakat yang naik, maka yang dilihat pertama adalah faktor cost nya..Kenapa biayanya naik, yang menyebabkan harga naik...apakah di produksi? atau distribusi..? Kalau produksi, digalakkanlah program untuk menarik investasi di sektor itu, baik berupa pemberian kredit lunak, insentif pajak, dll...kalau distribusi, maka dilakukanlah program-program perbaikan sarana/prasarana jalan, atau bahkan penambahan akses2 transportasi baru lainnya..Perbaikan jalur distribusi membuat para petani2 ataupun peternak dan nelayan atau produsen2 produk2 nasional di belanda bisa memiliki akses langsung ke penjual sehingga mempersingkat rantai distribusi, hargapun menjadi murah. Bahkan dalam 2 kali seminggu, hampir di setiap kota di Belanda, diadakan even yang namanya Open Markt, atau Pasar Terbuka, mungkin kalau di Indonesia istilah Pasar Kaget lebih populer... Disitu para petani, nelayan atau peternak dengan mendirikan kios2 kecil di halaman luas semacam alun-alun kota di depan gereja (kerk), memasarkan hasil2/produknya langsung kepada masyarakat... Kita2 ini para mahasiswa Indonesia biasanya lebih suka belanja di Open Markt, karena harganya lebih murah... Disitu kita bisa melihat para petani/peternak dan nelayan dengan mobil2 caravannya yang terawat dan kios2nya yang berkesan kaki lima tapi rapi tampak bersemangat sekali menjual produk2nya...dan pembelipun juga enjoy dan senang berbelanja disitu..Suatu pemandangan yang menyejukkan. Jadi tidak mengherankan kalau harga2 di belanda saat itu dalam kurun 10 tahun belakangan hampir dibilang tidak ada kenaikan yang signifikan.. Inflasinya sih katanya di 0.2-0.3% pertahun,...kadangkala inflasi 0.3% saja waktu itu sudah cukup membuat pemerintahnya gerah...

Situasi di atas sedikit banyak dapat membantu saya dalam menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam benak kepala saya saat itu...saya jadi memahami kenapa harga ayam potong, susu, dan telur hampir sama dengan di Indonesia, kenapa harga-harga di sana relatif stabil dalam kurun waktu yang cukup panjang, kenapa harga beras kita, kedelai kita, kalah murah dengan produk2 negara lain yang petaninya berpenghasilan lebih tinggi, pendapat perkapita rakyatnya lebih tinggi, dsb...

Akhirnya di tengah-tengah ramainya gejolak dikotomi inflasi dan kenaikan gaji di tanah air, saya saat ini bermimpi seandainya gaji kita tidak perlu dinaikkan, tapi harga-harga bisa turun, alangkah indahnya hidup di tanah air... Bagaimana beras bisa murah, tapi petaninya juga "sugih", ikan murah, nelayannya pada "makmur", buruh2 kecil, karyawan2 kecil bisa memenuhi standar hidup yang layak karena barang2nya bisa terjangkau dengan gaji/upah mereka...Saya berharap semoga penanganan masalah inflasi ini dapat langsung menyentuh pada akar permasalahannya...memotong atau mengefisienkan rantai produksi & distribusi dengan mengintensifkan pembangunan prarana2 infrastruktur nasional di berbagai pelosok negeri. Sebagai kawoela alit yah hanya bisa berharap...Harga murah, maka rakyatpun tidak akan ribut dan demo untuk menuntut gaji/upahnya dinaikkan. Harga murah yang didapat karena efisiensi ekonomi dari high cost economy menjadi low cost economy.. bukan harga murah karena pengaruh harga dunia ataupun subsidi... Harga turun karena subsidi ataupun pengaruh penurunan harga dunia hanyalah semu dan bersifat sementara...seperti turunnya harga BBM..

Sabtu, 25 Oktober 2008

Semangat Wedang Kopi


Dulu semasa masih duduk di bangku sekolah dasar, guru saya menerangkan bahwa Indonesia itu adalah salah satu penghasil biji kopi terbesar di dunia... Dan sekarang di masa modern ini, penikmat kopi semakin termanjakan dengan berjamurnya gerai-gerai "warung kopi" dari mulai "warung kopi" pinggir jalan yang biasa kita kenal sejak jaman "baheula" hingga gerai kopi eksklusif dan modern seperti Starbucks, Coffee Bean, Exelco, dan masih banyak lagi lainnya..

Terus terang dulu saya tidak terlalu suka kopi...rata-rata di keluarga saya yang "njawa totok" inipun wedang kopi tidak terlalu populer..Teh lebih populer..Kopi, anak kecil dilarang minum kopi...bikin bodo.. kata ayah saya. Ayah saya tidak terlalu menyukai kopi, dari ibu sayalah saya mengenal kopi. Beliaulah yang rutin menikmati wedang kopi setiap pagi di rumah.. Semasa kuliah saya minum kopi bukan dikarenakan suka, tapi lebih dikarenakan untuk menahan kelopak mata untuk tetap terbuka di tengah malam hari menjelang pagi supaya bahan2 untuk ujian bisa selesai saya pelajari untuk ujian besok pagi...atau tugas-tugas gambar teknik atau mata kuliah lainnya bisa saya selesaikan tepat pada waktunya sebelum diserahkan besok pagi...

Saya mulai tertarik wedang kopi setelah saya melihat film "You've Got Mail", sebuah film roman-komedi yang diperankan Tom Hanks dan Meg Ryan... dimana keduanya selalu pesan kopi di kedai "starbucks" menjelang mereka berangkat ke kantor... Pilihannya macam-macam ada decaf, frapuccino, latte,.. dan masih banyak istilah lain yang tidak saya kenal waktu itu... Kalau saya pergi ke warung kopi dekat kampus, pilihannya cuma satu...Kopi Tubruk.. Saya baru bisa menikmati kopi setelah muncul banyak gerai kopi di mall2 di Indonesia... Disitu kopi disuguhkan dalam berbagai wujud varian yang sangat menarik dan beragam..kadang dari namanya tidak menyiratkan bahwa itu adalah kopi...Kopi memang nikmat...kalau dulu tahunya hanya berupa wedang atau minuman panas, sekarang dinginpun bisa dinikmati..Luar biasa. Kadang pertemuan bisnis dimulai dari minum kopi, bersantaipun bisa dengan kopi...dan sekarang banyak anak sekolah pada "nongkrong" di kedai kopi.. Ternyata kopi memang tidak membuat orang jadi bodo, seperti kata ayah saya dulu. Kedai kopi eksklusifpun ramai dipadati orang dimana-mana, dan disudut2 pinggiran jalanpun warung2 kopi tradisional pun masih penuh sesak, bahkan di sekitar gerbang tol pun ramai pedagang menjajakan wedang kopi dalam kemasan plastik dan sedotan... Luar biasa kopi memang "pancen oye"...seakan tidak ada minuman yang lebih populer selain kopi saat ini...

Yang menarik, saat membaca menu minuman kopi di sebuah gerai kopi yang cukup ekskusif, dijelaskan bahwa ternyata biji kopi Indonesia itu bak primadona..Tidak ada satupun gerai kopi yang bertaraf internasional seperti starbucks, coffee bean, dan lain-lainnya itu yang tidak menjual kopi yang berasal dari Indonesia. Biji Kopi Indonesia adalah biji kopi terbaik yang sangat kaya rasanya, baik dari Sumatra, Sulawesi, maupun Jawa.. dan saat ini Indonesia masih masuk dalam 3 Negara Penghasil terbesar dari biji kopi dunia...

Fenomena kopi ini menjadi menarik untuk dicermati di saat dunia ini sedang diguncang badai resesi ekonomi, yang belum jelas sampai kapan akan berakhir... Berita koran kemarin cukup menarik..bahkan sangat menarik..bahkan membuat kebanggaan nasional saya pribadi seolah meningkat... AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) berencana tunda ekspor untuk mendongkrak harga kopi, karena harga kopi saat ini turun menjadi USD 113 perton dari harga USD 115,75 perton pada tanggal 20 Oktober lalu... Lha rak hebat tenan.. Akhirnya negeri kita bisa berperan sebagai Price Maker... Juru kunci dalam perdagangan sebuah komoditi, yang meski hanya berupa biji yang kecil, tapi segmen pasarnya yang begitu sangat mendunia..

Kenapa AEKI berani menahan ekspor...? Kenapa mereka berani menahan timbunan jutaan ton biji kopi nasional di dalam negeri..? Jawabannya mudah... karena orang Indonesia suka minum kopi.. dan masih kuat untuk membeli wedang kopi. Tidak seperti komoditi ekspor lainnya, infrastruktur wedang kopi sepertinyanya yang paling siap. Saya membayangkan seandainya untuk komoditi atau produk lokal lainnya, infrastrukturnya sesiap wedang kopi..mungkin imbas krisis ekonomi dunia tidak akan sedahsyat saat ini. Memang infrastruktur wedang kopi murah... tapi yang jadi masalah kan bukan sekedar murah dan tidaknya...

Semoga semangat "wedang kopi" para pengusaha, petani dan eksportir biji kopi di AEKI ini juga perlahan-lahan juga bisa tumbuh di komoditi-komoditi atau produk nasional lainnya.. Suatu semangat yang didorong kepercayaan diri yang tinggi. Tapi semangat itu tidak lahir mendadak...tiba-tiba mak "prul" nongol.. tapi semangat itu bisa "jumbuh" karena memang situasi dan prasyarat-prasyaratnya mencukupi dan mendukung. Tidak mungkin anak kita bersemangat untuk sekolah jika atap sekolahnya masih bocor...Tidak mungkin petani bersemangat menanam padi kalau pupuknya mahal..

Fenomena semangat wedang kopi itu membuktikan, bahwa Pasar Domestik merupakan pondasi utama ekonomi nasional. Ekonomi dunia boleh krisis, tapi untuk kopi...no way...Mau orang Amerika pada kantong kempes semuanya, mau orang Eropa pada kanker alias kantong kering semua, kopi tetap tenang...setenang sebagian besar masyarakat Indonesia untuk meneguk atau menikmati secangkir atau bercangkir-cangkir wedang kopi. Semoga semangat wedang kopi bisa segera menular ke produk nasional lainnya...

Jumat, 24 Oktober 2008

Metruk : menyuarakan pendapat orang orang yang terpinggirkan


Bagi para penikmat dunia pewayangan khususnya wayang kulit, baik gagrak Surakarta maupun Yogyakarta, tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah metruk...Para dalang biasanya "metruk" dalam beberapa sessi dalam satu pertunjukkan. Metruk berasal dari kata Petruk, salah seorang tokoh Punakawan....awalan me merupakan fungsi pengaktifan kata kerja, Metruk berarti me Petruk atau menjadi Petruk... Apa tho maksudnya metruk itu? Kenapa dalang mesti harus memetruk..?

Pertunjukan wayang bagi masyarakat jawa diidealkan dengan idiom tuntunan dalam wadah tontonan..sehingga fungsi dalang disamping berfungsi sebagai artis juga berfungsi sebagai juru suluh, juru dakwah, guru, pendidik, sarana komunikasi sosial, dan pelestari budaya... Dalang berasal dari kata nguDhal piwuLang atau memberikan ajaran...sehingga dalang harus menempatkan diri sebagai tokoh masyarakat yang dapat dijadikan teladan..Jadi kalau di jaman sekarang ada otak demonstrasi, otak kerusuhan disebut dalang sepertinya tidak mengena...karena biasanya "dalang demo" atau "dalang kerusuhan" tidak pernah ada di tempat alias mau cari selamatnya sendiri.. dalang demo anti ruu pornografi, kemungkinan besar juga tidak rela atau tidak mau kalau salah satu anggota keluarganya difoto setengah telanjang apalagi telanjang baik itu dengan alasan "art" atau apa lah istilah2 lainnya...jadi sepertinya terminologi "dalang" harus sudah mulai ditempatkan pada konotasi yang sebenarnya.

Terkait dengan salah satu fungsinya sebagai sarana atau "penjembatan" komunikasi sosial itu, dimana dalang harus dapat semaksimal mungkin menyuarakan pendapat orang banyak atau rakyat jelata di hadapan penontonnya yang nota bene terdapat beberapa tokoh pimpinan masyarakat tanpa harus mengorbankan jalan cerita dari lakon yang dibawakannya serta semangat untuk menghibur dimana dia harus mampu memuaskan semua penontonnya, maka dalang perlu untuk berlaku sebagai Petruk atau Metruk. Petruk digunakan dalang untuk mewakili dirinya bermonolog atau berdialog dengan lebih bebas tanpa harus terikat dengan cerita lakon yang dipentaskan...Guyonan ataupun pembicaraan yang membahas masalah-masalah sosial aktual dapat disampaikan. Dengan postur badan yang santai, tangan, leher, dan hidungnya serta kakinya serba panjang dengan roman muka yang gembira, Petruk tampil lebih berani dan tenang...Telunjuknya yang selalu diacung-acungkannya ke depan merupakan simbol penunjuk kebenaran...Dalam tradisi wayang gagrak (gaya) Yogyakarta pada fragmen yang disebut "alam-alaman", Petruk bisa berbicara dengan logat atau nada suara yang berubah-ubah, dia mampu meniru nada atau logat suara tokoh wayang lainnya...dan dalam konteks sosial, nada atau logat suara Petrukpun bisa saja meniru nada atau logat suara para tokoh atau anggota masyarakat yang ada... Kritikannya yang pedas bisa mengundang tawa dengan gaya dan karakternya yang lucu...Masyarakat senang karena suara atau keluhannya tercapai, para tokoh pemimpin masyarakat tertawa terpingkal-pingkal karena ulah dan perkataan Petruk yang lucu, meski dirasa cukup menohok... Disinilah terjadi sambung rasa...Metruk adalah sarana penyambung rasa itu...

Menyikapi kondisi bangsa ini, sepertinya diperlukan banyak orang-orang untuk mau Metruk...menjadi Petruk seperti dalang tadi. Di saat distorsi komunikasi, degradasi nilai, dan perubahan cara pandang di berbagai elemen masyarakat, perlu ada jembatan atau sarana komunikasi sosial yang terus menerus harus dijaga keberadaannya terlebih dengan multi etnis dan beragamnya corak budaya masyarakat yang ada...maka komunikasi sosial bisa terbentuk tanpa menimbulkan konflik akibat kesalah pahaman... Petruk mampu melakukan itu... Indonesia punya banyak calon Petruk potensial...Sudah saatnya para cendikiawan, budayawan, seniman, bahkan politisi2 serta praktisi2 lainnya untuk me Metruk an dirinya...

Petruk memang hanyalah Punakawan yang selalu dikonotasikan sebagai "abdi" atau pembantu...Padahal kata Punakawan berasal dari kata Pana yang berarti "cerdik" dan kawan yang berarti "teman". Jadi Punakawan adalah teman yang cerdik atau memiliki kecermatan pengamatan, atau dapat dipercaya dan diandalkan. Pandawa bisa tumbuh menjadi ksatria-ksatria yang sempurna akibat adanya Punakawan atau "teman-teman yang bisa diandalkan"..diantaranya Petruk. Indonesia memerlukan banyak Petruk-Petruk.... Masih banyak elemen-elemen masyarakat yang terpinggirkan, dalam artian belum ada kepedulian pada situasi mereka saat ini... Di berbagai pelosok masih banyak orang makan nasi aking...bahkan ada yang busung lapar... Petani-petani masih merugi dalam bertani karena pupuk mahal... Nelayan-nelayan takut berlayar karena beratnya harga bbm untuk mesin kapal mereka.....Anak-anak di beberapa daerah bersekolah di gedung sekolah yang reot, bocor bahkan hampir rubuh.... Para anggota legislatif sepertinya masih dirasa kurang cukup...apalagi sekarang sedang memasuki masa-masa Pilpres...pasti sibuklah mereka mengurusi partai dan calon yang diusungnya...Ratusan juta atau milyar akan terpakai untuk berpesta demokrasi ....Elemen-elemen masyarakat tadi perlu ada yang menyuarakan nasib mereka...masalah mereka tanpa harus berdemo, melakukan aksi kekerasan, membuat Pemerintah jadi pusing sehingga tidak bisa fokus pada masalah..... Petruk mampu menyuarakan pendapat atau amanat orang banyak di satu sisi tanpa harus menyakiti hati seluruh pihak yang terlibat........Siapkah dan mampukah kita untuk Metruk..?

Kayu ... Oh Kayu




Sore kemarin indeks ditutup melemah... Boleh dibilang semua sektor melorot .. rot. Padahal sebelumnya saat senin indeks sempat menguat...orang-orang pada berkoar, semuanya sudah mulai membaik, krisis hampir berlalu...Lha ini lagi dumeh (mentang-mentang) baru dikasih naik beberapa poin, wis koar-koar (berteriak-teriak)... Besoknya muncul berita pengangguran naik, panen kelapa sawit tidak tertampung, dan kemiskinan akan meningkat...Mbok aja dumeh.

Kalau dipikir-pikir ojo dumeh inilah yang dimiliki industri informasi umumnya surat kabar alias koran... Mereka tetap tenang, menampilkan apa adanya...malah di situasi yang gonjang ganjing ini, koran atau berita atau sumber2/ media informasi, mungkin termasuk blog2 jadi laku, omzet penjualannya bisa dipastikan meningkat...karena meningkatnya kecenderungan untuk up date berita.... Jadi bisnis informasi terutama koran mendulang keuntungan gara2 tidak berdumeh...laku gak laku ya gak ngomong, untung gak untung tidak pernah sesumbar...meski tidak berdumeh tapi kerap membuat orang-orang lain yang menerima informasi jadi malah, ber dumeh, gumun (terheran-heran), dan kaget (terkejut/panik) karena berita yang diusungnya...Ironi? Yah begitulah dunia ini ... menunggu godot .. begitu kata seniman terkenal, Rendra..

Pagi ini saya tertarik melihat masalah perkayuan ... satu dikarenakan saham perusahaan2 yang bergerak di industri kayu ini pada melorot lumayan tajam, dimotori salah satu perusahaan raksasa Barito Pacific (BRPT) yang harganya sempat bertengger di kisaran 1,400 an terus sekarang ini tengah berjuang di kisaran 450 - 500 an... BRPT memang tidak masuk dalam kategori Kompas 100 (blue chips versi Kompas) tapi banyak diminati pasar dan direkomendasi oleh perusahaan2 sekuritas karena prospeknya yang bagus di masa depan seiring dengan meningkatnya ekspor kayu sebelum masa krisis... yang kedua adalah adanya insentif dari pemerintah atas 23 investor kehutanan berupa keringanan PPh...

Kayu sempat jadi primadona, terlebih selepas krisis moneter di Indonesia tahun 1997/98 lalu... dimana ekspor kayu bagaikan salah satu pahlawan baru yang datang memberikan kontribusi menambah devisa negara yang saat itu lagi "kanker" alias "kantong kering" yang akut... Sampai2 setiap di setiap pelosok negeri, semua tangan menjadi gatal untuk membabat dan menebang hutan sak mau-maunya... kembali... dumeh..mentang-mentang mau pada jadi pahlawan menyelamatkan devisa negara di satu sisi, dan menjadi kaya di sisi lainnya.....Sampai-sampai pemerintah akhirnya kesal pada sepak terjang manusia-manusia yang berusaha menjadi pahlawan kesiangan itu, yang pada merambah hutan seenak udelnya sendiri, akhirnya ditetapkanlahkan hukuman yang cukup "mematikan" bagi para penjarah atau perambah hutan itu..

Dumeh kayu sedang digila-gilai para pelanggannya di luar negeri saat itu, sampai-sampai kayu yang bermutu baik hampir dikatakan sulit untuk dicari di Indonesia... Mencari plywood berkualitas baik, jangankan mahal, barangnyapun gak ada... kalau ditanya, ini kayu-kayu pada kemana tho..? Jawabannya maaf pak, semuanya dikonsentrasikan ke eskpor... Mungkin kayu ini merupakan satu dari sekian banyak fenomena yang terjadi saat ini dimana akhirnya salah satu penyebab ketergantungan ekonomi nasional pada luar negeri tidak saja hanya pada "impor" atau "hutang" atau juga "penanaman modal asing", akan tetapi juga ekspor...

Mantan presiden Soekarno, dahulu semasa masih berjuang di masa pergerakan nasional, dalam salah satu tulisannya yang tertuang dalam "Di Bawah Bendera Revolusi", juga sangat mengecam tingginya ekspor yang terjadi pada masa kolonial dari hasil-hasil perkebunan di Hindia Belanda, yang mengabaikan kebutuhan domestiknya..Ekspor besar, rakyat jajahan tetap melarat.. Lha fenomena masa kolonialisme seakan bernostalgia kembali dewasa ini...

Anjloknya saham dan kinerja industri kayu nasional di saat resesi global ini tidaklah mengherankan mengingat tingginya nilai ekspor dari komoditi ini... apalagi Eropa dan Amerika menjadi salah satu tujuan dominannya selama ini.. Begitu kantong rakyat di negara2 kawasan itu pada mulai kempes dan tidak kuat lagi untuk membeli kayu Indonesia, ..habis sudah pelanggan mereka dan produknya tidak lagi laku dijual, produksi stop, stockpun menumpuk.. Di satu sisi, akibat konsentrasi pada ekspor, tertinggalnya pembangunan infrastruktur dalam satu dekade ini sehingga berpengaruh pada lemahnya usaha pemberdayaan daya beli masyarakat nasional (domestik), membuat permintaan domestikpun tidak bisa menolong...

Kembali kalau pepatah orang Jawa bilang, semua itu ada untungnya ...atau hikmah nya...Mungkin resesi ekonomi di Amerika Serikat dan saat ini juga sudah mulai menulari Eropa ini, menjadi trigger agar kebijakan untuk membangun infrastruktur ekonomi nasional kembali digalakkan supaya pasar domestik bisa tumbuh dan berkembang dengan kuat...Lha masak penduduknya sak eropa, kalah sama eropa...begitu pasti komentar Pak Toyo, penjual sate kere di jogja.. Pemberian insentif sudah bijak supaya mendorong gairah usaha untuk memompa produksi nasional di industri kehutanan seyogyanya diikuti dengan jalan-jalan, jembatan, pelabuhan, sarana-sarana pelayanan penyuluhan usaha kecil, lumbung-lumbung desa, koperasi desa, sekolah-sekolah, dan lain-lainnya yang juga sudah saatnya untuk dipikirkan menjadi skala prioritas untuk dibangun, dibangun, dan dibangun....

Pasar Domestik yang kuat, akan membuat saham perusahaan2 yang bergerak di industri kayu nasional akan berperforma bagus, dan mampu menopang struktur ekonomi nasional.. di sisi lain rakyat Indonesia juga tidak susah mencari kayu yang berkualitas baik.. Jadi tidak ada lagi ratapan kayu...oh kayu...

Kamis, 23 Oktober 2008

3 Ojo


Dalam situasi gonjang-ganjing perekonomian saat ini, tiba-tiba saya teringat akan terminologi kejawen yaitu 3 Ojo (Jangan), yaitu Ojo Dumeh (Jangan Mentang-Mentang), Ojo Gumunan (Jangan Mudah Terheran-heran), dan Ojo Kagetan (Jangan Mudah Terkejut/Panik)..Begitu besar pengaruh dari 3 Ojo ini dalam kehidupan masyarakat di Jawa ini, hingga mantan presiden Soeharto pun, dalam buku autobiografinya, Pikiran, Kata dan Perbuatan, menyatakan apresiasi beliau yang tinggi pada terminologi tersebut.

Kalau dicermati konsep falsafah 3 Ojo itu memang benar mengusung suatu semangat yang positif, semangat anti kesombongan, semangat untuk mau terus belajar dan belajar supaya tidak mudah terheran-heran melihat situasi yang ada, dan semangat untuk tetap tenang dan berpikir jernih dalam menghadapi berbagai situasi... Katanya para sesepuh di Yoja ini, kalau mau sukses jadi orang, ya amalkanlah falsafah ini....

Saat ini di dunia juga indonesia tengah terjadi euforia atas krisis ekonomi yang melanda dunia mulai dari Amerika Serikat. Di lantai bursa, orang-orang pada kagetan (panik) menjual semua surat-surat berharganya, di dunia bisnis, orang-orang pada saling mengemplang kewajibannya dumeh (mentang-mentang) adanya alasan resesi ekonomi dunia, dan di kalangan masyarakata luas, orang-orang pada gumun (terheran-heran) melihat lha kok Amerika yang "sugih" itu kok bisa resesi ya..lha kok bisa sakit, habis gitu "sakit"nya nulari semua negara lain lagi... Siklus dumeh-kagetan-gumunan ini sudah merebak ke seluruh penjuru dunia, tentunya dalam terminologinya masing-masing...akhirnya dunia pun gonjang-ganjing..Seandainya para sesepuh yang memahami falsafah jawa melihat situasi ini, beliau-beliau pasti bilang ... Lha rak tenan..( Tuh kan betul kata saya ). Gimana dunia mau jadi baik, wong pada tidak mematuhi prinsip 3 Ojo kok...

Susah memang, lha sekarang ini kalau sehabis baca koran kadang ya bingung kalau mau mengamalkan 3 Ojo itu... Minggu lalu ada gembar-gembor dari salah satu parpol...menyatakan kalau angka kemiskinan sudah turun, tingkat pengangguran turun...lha baca koran kemarin ada statement kalau penduduk miskin tambah 20%, setengah juta buruh akan kena PHK ...gara2nya karena masalah jatuhnya harga tandan buah segar kelapa sawit... Bahkan di Kalbar dampak dari PHK itu bisa menyampai 4 juta jiwa ...itu baru dari Kelapa Sawit, ...bagaimana untuk tidak heran (gumun) atau terkejut (kaget) menyikapi situasi itu... Di sisi lain masih banyak orang mengeluh mahalnya harga minyak goreng yang nota bene dari kelapa sawit itu...Secara alur logika sederhana, masalah ini tentulah sulit untuk dipahami oleh sebagian masyarakat banyak.

Ketergantungan perekonomian nasional pada ekspor, sebagaimana yang ditulis dalam salah satu koran, menyebabkan dampak krisis ekonomi di belahan dunia lain akan berdampak langsung pada negeri kita.. Kasus kelapa sawit di atas sepertinya memang mendukung statement itu... Memang sih tidak disebutkan secara jelas dan eksplitsit dalam UUD 45, yang dipercaya sebagai refleksi dari hakikat berdirinya republik yang kita cintai ini,...tapi getaran akan adanya sesuatu yang "keliru" dalam jalannya perekonomian nasional ini tidaklah mungkin untuk bisa dipungkiri... Mungkinkah kita lupa untuk menjual produk kita pada bangsa sendiri...yang nota bene juga merupakan sasaran pasar yang luar biasa besarnya, 200 juta jiwa dalam satu wilayah...mungkin lebih besar dari penduduk sak eropa... Kenapa harus menjual jauh2 ke seberang sana padahal di sini juga banyak orang... Kalau memang potensi belinya kecil, kenapa tidak harus ditingkatkan?...

Infrastruktur memang kunci untuk menggerakkan roda ekonomi, tapi yang jadi masalah setelah rodanya jalan mau jalan ke arah mana...itu yang sepertinya perlu dirembug bareng-bareng, biar 3 Ojo itu bisa diamalkan sedikit demi sedikit...Kalau infrastruktur industri yang menunjang ekspor digalakkan selama ini, mungkin sudah waktunya untuk memikirkan penggalakkan infrastruktur di pedesaan, pedalamana2, dan juga area-area lain yang terpencil yang belakangan ini dirasakan kurang gaungnya.....Pemberdayaan potensi pasar yang 200 juta jiwa itu sepertinya sudah selayaknya diprioritaskan, supaya ketergantungan ekonomi nasional pada luar negeri tidak menjadi semakin akut... Bagaimana caranya agar tidak ada lagi istilah daerah/desa terpencil...tapi adanya desa yang kecil tapi penduduknya sejahtera... makan dengan beras nasional, baju buatan nasional, dan bisa menggoreng ikan dengan minyak produksi negeri sendiri yang dibeli dari saudara2 sebangsanya jauh di pulau sebelah sana yang menanam kelapa sawit... Wah ya ini mimpi indah, namun tidak mustahil untuk diwujudkan asal ada kemauan dan itikad kuat dari kita semua.

Saya optimis 3 Ojo bisa diamalkan, tapi prasyarat pendukungnya perlu terus diusahakan untuk dapat terwujud.. Prasyaratnya tidak lain adalah keseimbangan... kalau ada keseimbangan, kecil kemungkinan untuk berdumeh karena kecilnya selisih perbedaan... kecil untuk gumunan, karena semuanya dapat saling memahami, dan kecil kemungkinan untuk kagetan karena segala sesuatunya bisa drencanakan... Keseimbangan itu yang lazim dulu dalam awal2 Repelita masa Orde Baru disebut dengan Pemerataan... Sebuah terminologi yang semakin langka...selangka dengan falsafah 3 Ojo ...

Selasa, 21 Oktober 2008

Resesi Ekonomi : Dampak Globalisasi atau Gombalisasi Ekonomi..?


Ketika harga saham dan komoditi pun berjatuhan laksana "udan tekek", ujan gerimis yang terus menerus tanpa henti di siang hari, seluruh elemen masyarakat yang merasa tahu ekonomi, baik yang tahu betulan maupun yang pas-pasan atau bahkan yang sok tahu alias tidak tahu pun terhenyak kaget dan panik ....wah giliran Indonesia yang akan mengikuti rontoknya ekonomi sang raksasa dunia, sang "rahwana" Amerika.....Akhirnya pemerintahpun turun tangan dengan memerintahkan BEI untuk "puasa", tidak melakukan transaksi apapun, supaya harganya tetap sama di saat transaksi terakhir dilakukan, sekaligus memerintahkan BUMN2 besar untuk melakukan "buy back" atas saham2nya supaya harganya terdongkrak naik lagi... Suatu tindakan emergency yang cukup lumayan, di tengah kegalauan para pelaku ekonomi (besar)... saya tidak menyangka kalau akhirnya pemerintahpun mau melakukan intervensi pasar dan tidak hanya berpangku tangan belaka dengan alasan klasik "kapitalisme" bahwa " biarlah pasar yang menyeimbangkan dirinya sendiri...tidaklah pasar perlu untuk diintervensi.."

Dunia ini memang aneh...peristiwa rontoknya harga saham/komoditi di suatu negara lha kok ya nulari negara2 yang lain...bahkan mata uang kita pun juga ikut2an rontok, sehingga membuat harga2 pada naik sehingga untungnya para penjual wedang ronde, tahu bacem, martabak dan toko2 kelontong itupun ikut2an turun seperti layaknya harga2 saham/komoditi di wall street...yang tempatnya pun mereka tidak tahu ... Kalau dipikir-pikir apa tho andil mereka di bursa sehingga mereka harus ikut merasakan dampaknya...

Ini karena orang2 kaya yang duitnya banyak itu yang pada sakpenake jual beli saham lewat internet yang membuat harga jadi gak karuan...kata pak toyo, penjual "sate kere", sate yang bukan terbuat dari potongan daging tapi tempe, yang membeli biasanya dari orang2 yang tidak mampu (kere).. Saya pikir komentarnya benar juga, lumayan juga penjual sate kere update juga dengan berita2 terkini...

Memang kalau dilihat komentarnya cukup mengena...lha memang saat ini di dunia, yang namanya harga ya ditetapkan melalui proses transaksi jual-beli di lantai bursa..Mulai dari saham perusahaan, komoditi bahkan sampai ke mata uang...Tidak terhitung jumlah uang yang berputar dalam ajang perang harga di lantai bursa itu yang tersebar di berbagai penjuru dunia...dari mulai new york, london, tokyo...sampai jakarta...dan gilanya lagi indeks harga pada bursa2 tempat berlangsungnya transaksi itupun ikut diperdagangkan...lha rak hebat tenan ekonomi dunia ini...Transaksinya pun tidak main-main...triliunan dollar tiap hari, benar-benar luar biasa...

Kalau dikaji lagi siapa yang terjun dalam kancah "pasar" yang luar biasa efisien itu adalah tidak lain daripada para pemilik modal besar yang telah mengucurkan dananya untuk saling berebut kepemilikan perusahaan ataupun yang avonturir yang bermaksud mendapatkan keuntungan besar dari fluktuasi harga yang terjadi akibat transaksi di lantai bursa... Keuntungan besar yang bukan main2 benar2 ditawarkan dalam "perdagangan " ini...dari fasilitas options, margin sampai short sell dimana para pelaku dapat menjual "barangnya (saham/komoditi)" dahulu di saat harga tinggi dan membelinya nanti di harga bawah...lha rak ampuh tenan. Tapi juga tidak lupa, kerugian besarpun menanti dari "perdagangan" ini... tidak terhitung banyaknya orang yang bunuh diri karena bangkrut, perusahaan, bank, bahkan negarapun bisa bangkrut dibuatnya....Hebatnya lagi dalam "pasar" ini, transaksi tidaklah mengenal batas negara dan wilayah.....hampir seluruh negara di dunia menyatukan dirinya dalam transaksi ini...akhirnya dunia saling bergantung pada setiap proses ekonomi ... inilah yang namanya Globalisasi Ekonomi... David Hoyle menulis dalam Jurnal Infed bahwa globalisasi ekonomi adalah keterkaitan dan berkembangnya proses produksi, distribusi, komunikasi, dan teknologi di segenap penjuru dunia tanpa mengenal batas wilayah/teritorial (suprateritoriality).

Dengan globalisasi ekonomi, harga produksi sate kere pak toyo pun tergantung pada naik-turunya harga kedelai yang diperdagangkan di bursa komoditi dunia .... Seandainya George Soros mau mengambil untung di bursa komoditi, dia tinggal mengambil posisi beli pada komoditi kedelai dengan milyaran dolar investasinya sehingga harga kedelaipun naik dan menjualnya nanti di saat harga sudah mencapai nilai yang diinginkannya...Kenapa harga bisa naik oleh sosok George Soros...? Karena besarnya nilai uangnya yang ditransaksikan akan mendorong efek psikis para investor lain untuk ramai2 memborong komoditi yang sama sehingga harganya pun akan naik seiring permintaan pasar...Lha kalau menurut para ekonom2 jagoan itu kalau yang namanya sistim pasar kan akan mencapai kondisi "keseimbangan atau equilibrium" dimana terjadinya harga yang optimal antara penawaran dan permintaan..? George Soros dalam bukunya Alchemy of Finance, menyatakan bahwa di dunia riil kondisi equilibrium itu mustahil bisa tercapai, karena pasar memiliki kecendrungan untuk melakukan penyesuaian atas sasaran yang bergerak, sebagaimana kasus harga kedelai itu tadi...Jadi pasar riil cenderung untuk anti-equilibrium, tegasnya... Lha kalau begitu George Sorosnya untung besar, pak Toyo nya bingung menghitung berapa harga sate kerenya harus dijual, wong harga kedelainya naik terus... Dinaikkan terlalu besar, kere pun gak bisa beli...paling ya untungnya pakToyo dikorbankan, supaya kere bisa tetap beli satenya... Ironis memang...

Jadi tidaklah mengherankan kalau kita lihat seiring dengan bertambahnya para baby boomers, para orang kaya baru di berbagai penjuru dunia, meningkatnya kesehjateraan sosial di beberapa negara industri maju, juga bertambahnya ratusan juta manusia miskin dan kelaparan di belahan dunia lain...Para manusia yang tidak memiliki kesempatan untuk bermain dalam "pasar hebat yang efisien" ini haruslah siap dan mau untuk menggantungkan nasibnya di tangan manusia2 lain yang memiliki kekuatan untuk saling berperang mempertaruhkan kekayaannya guna mendapatkan keuntungan atau kerugian yang berlipat-lipat jumlahnya...Dan ketika "pasar" yang dianggap ampuh luar biasa itu runtuh ... maka keruntuhanpun juga ditanggung oleh seluruh manusia yang ada di dunia ini karena besarnya ketergantungan yang sudah terbentuk...

Tindakan pemerintah untuk melakukan intervensi pasar, cukup bijaksana untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi dunia...tapi belum bisa menunjukkan tekad kuatnya untuk melepaskan ketergantungan perekonomian nasional dari luar negeri...Namun yang cukup melegakan sudah banyak para tokoh2 ekonom yang sudah saling mengingatkan perlunya penyeimbangan struktur ekonomi nasional.....7 triliun sudah disiapkan untuk intervensi "pasar", besar harapan adanya triliunan rupiah lagi yang dapat dikucurkan oleh pemerintah pada area sektor ekonomi dimana pak Toyo dan para rekan seprofesinya berkutat, para petani, para buruh, para karyawan, para tenaga kerja informal, dan juga sebagian masyarakat yang belum mendapatkan pekerjaan berada...  Sektor Riil memang tidak seefisien lantai bursa, tapi sektor riil lebih menyejukkan dan membawa harapan bagi semua elemen masyarakat. Para pedagang kecil, petani, nelayan, buruh, dan karyawan  hanya mengharapkan dapurnya tetap "ngebul" dan bisa hidup dengan layak...mereka tidak mengerti apa itu globalisasi dan dampak manfaatnya yang terlalu njelimet bagi mereka...mereka hanya ingin bisa bekerja dan bekerja dan hidup dengan layak...Globalisasi ekonomi yang kerap membawa krisis bagi mereka hanyalah "Gombal"...alias kain bekas, yang biasa ditujukan pada sesuatu yang tidak bermanfaat.....Semoga  globalisasi ekonomi tidak menjadi gombalisasi ekonomi .....