Kamis, 23 Oktober 2008

3 Ojo


Dalam situasi gonjang-ganjing perekonomian saat ini, tiba-tiba saya teringat akan terminologi kejawen yaitu 3 Ojo (Jangan), yaitu Ojo Dumeh (Jangan Mentang-Mentang), Ojo Gumunan (Jangan Mudah Terheran-heran), dan Ojo Kagetan (Jangan Mudah Terkejut/Panik)..Begitu besar pengaruh dari 3 Ojo ini dalam kehidupan masyarakat di Jawa ini, hingga mantan presiden Soeharto pun, dalam buku autobiografinya, Pikiran, Kata dan Perbuatan, menyatakan apresiasi beliau yang tinggi pada terminologi tersebut.

Kalau dicermati konsep falsafah 3 Ojo itu memang benar mengusung suatu semangat yang positif, semangat anti kesombongan, semangat untuk mau terus belajar dan belajar supaya tidak mudah terheran-heran melihat situasi yang ada, dan semangat untuk tetap tenang dan berpikir jernih dalam menghadapi berbagai situasi... Katanya para sesepuh di Yoja ini, kalau mau sukses jadi orang, ya amalkanlah falsafah ini....

Saat ini di dunia juga indonesia tengah terjadi euforia atas krisis ekonomi yang melanda dunia mulai dari Amerika Serikat. Di lantai bursa, orang-orang pada kagetan (panik) menjual semua surat-surat berharganya, di dunia bisnis, orang-orang pada saling mengemplang kewajibannya dumeh (mentang-mentang) adanya alasan resesi ekonomi dunia, dan di kalangan masyarakata luas, orang-orang pada gumun (terheran-heran) melihat lha kok Amerika yang "sugih" itu kok bisa resesi ya..lha kok bisa sakit, habis gitu "sakit"nya nulari semua negara lain lagi... Siklus dumeh-kagetan-gumunan ini sudah merebak ke seluruh penjuru dunia, tentunya dalam terminologinya masing-masing...akhirnya dunia pun gonjang-ganjing..Seandainya para sesepuh yang memahami falsafah jawa melihat situasi ini, beliau-beliau pasti bilang ... Lha rak tenan..( Tuh kan betul kata saya ). Gimana dunia mau jadi baik, wong pada tidak mematuhi prinsip 3 Ojo kok...

Susah memang, lha sekarang ini kalau sehabis baca koran kadang ya bingung kalau mau mengamalkan 3 Ojo itu... Minggu lalu ada gembar-gembor dari salah satu parpol...menyatakan kalau angka kemiskinan sudah turun, tingkat pengangguran turun...lha baca koran kemarin ada statement kalau penduduk miskin tambah 20%, setengah juta buruh akan kena PHK ...gara2nya karena masalah jatuhnya harga tandan buah segar kelapa sawit... Bahkan di Kalbar dampak dari PHK itu bisa menyampai 4 juta jiwa ...itu baru dari Kelapa Sawit, ...bagaimana untuk tidak heran (gumun) atau terkejut (kaget) menyikapi situasi itu... Di sisi lain masih banyak orang mengeluh mahalnya harga minyak goreng yang nota bene dari kelapa sawit itu...Secara alur logika sederhana, masalah ini tentulah sulit untuk dipahami oleh sebagian masyarakat banyak.

Ketergantungan perekonomian nasional pada ekspor, sebagaimana yang ditulis dalam salah satu koran, menyebabkan dampak krisis ekonomi di belahan dunia lain akan berdampak langsung pada negeri kita.. Kasus kelapa sawit di atas sepertinya memang mendukung statement itu... Memang sih tidak disebutkan secara jelas dan eksplitsit dalam UUD 45, yang dipercaya sebagai refleksi dari hakikat berdirinya republik yang kita cintai ini,...tapi getaran akan adanya sesuatu yang "keliru" dalam jalannya perekonomian nasional ini tidaklah mungkin untuk bisa dipungkiri... Mungkinkah kita lupa untuk menjual produk kita pada bangsa sendiri...yang nota bene juga merupakan sasaran pasar yang luar biasa besarnya, 200 juta jiwa dalam satu wilayah...mungkin lebih besar dari penduduk sak eropa... Kenapa harus menjual jauh2 ke seberang sana padahal di sini juga banyak orang... Kalau memang potensi belinya kecil, kenapa tidak harus ditingkatkan?...

Infrastruktur memang kunci untuk menggerakkan roda ekonomi, tapi yang jadi masalah setelah rodanya jalan mau jalan ke arah mana...itu yang sepertinya perlu dirembug bareng-bareng, biar 3 Ojo itu bisa diamalkan sedikit demi sedikit...Kalau infrastruktur industri yang menunjang ekspor digalakkan selama ini, mungkin sudah waktunya untuk memikirkan penggalakkan infrastruktur di pedesaan, pedalamana2, dan juga area-area lain yang terpencil yang belakangan ini dirasakan kurang gaungnya.....Pemberdayaan potensi pasar yang 200 juta jiwa itu sepertinya sudah selayaknya diprioritaskan, supaya ketergantungan ekonomi nasional pada luar negeri tidak menjadi semakin akut... Bagaimana caranya agar tidak ada lagi istilah daerah/desa terpencil...tapi adanya desa yang kecil tapi penduduknya sejahtera... makan dengan beras nasional, baju buatan nasional, dan bisa menggoreng ikan dengan minyak produksi negeri sendiri yang dibeli dari saudara2 sebangsanya jauh di pulau sebelah sana yang menanam kelapa sawit... Wah ya ini mimpi indah, namun tidak mustahil untuk diwujudkan asal ada kemauan dan itikad kuat dari kita semua.

Saya optimis 3 Ojo bisa diamalkan, tapi prasyarat pendukungnya perlu terus diusahakan untuk dapat terwujud.. Prasyaratnya tidak lain adalah keseimbangan... kalau ada keseimbangan, kecil kemungkinan untuk berdumeh karena kecilnya selisih perbedaan... kecil untuk gumunan, karena semuanya dapat saling memahami, dan kecil kemungkinan untuk kagetan karena segala sesuatunya bisa drencanakan... Keseimbangan itu yang lazim dulu dalam awal2 Repelita masa Orde Baru disebut dengan Pemerataan... Sebuah terminologi yang semakin langka...selangka dengan falsafah 3 Ojo ...

1 komentar:

Astari Indahingtyas mengatakan...

Pak Anton....(menghindari kata "om" yang berkonotasi sedikit negatif)
aku baru tau ttg 3 falsafah itu. tp makasih banyak ya dah menambah pengetahuan keJAWAan aku. heheheh

aku setuju ttg pengembangan pasar lokal. tp perlu kita ingat juga u/ meningkatkan SDM kita. masalahnya jgn tau eksploitasinya aja tp ga tau ngolah dan masarinnya.

satu pertanyaan...kenapa saat dollar melemah, rupiah ikut2an melemah dan bukannya menguat??