Minggu, 09 November 2008

Kebijakan Energi ... Quo Vadis..?


Berbicara tentang situasi ekonomi di tanah air saat ini, pastilah mau tidak mau harus up-date dengan pergerakan ekonomi dunia...Bagaimana tidak wong kita ini sudah mendeklarasikan jadi turut dalam kancah globalisasi ekonomi dunia kok. Ketika harga minyak dunia menyentuh level rekor tertinggi di kisaran 125 USD per barrel pada medio Mei 2008, maka negeri inipun diguncang dengan kenaikan harga BBM, yang menuai polemik dimana-mana... Dan saat kenaikan harga BBM pun diperlakukan, dan polemik-polemikpun mereda, ketika masyarakat sudah mulai ber"evolusi" menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru...kembali masalah barupun muncul. Harga minyak dunia yang sempat "tenger-tenger" di atas, kembali melorot tajam di awal November hingga mendekati kisaran 65 USD per barrel pada akhir Oktober 2008...suatu pergerakan harga yang fantastis jika dilihat dari usianya yang tidak lebih dari 5 bulan...Kembali isu BBM pun memanas...sekarang masalahnya bukan "naik"nya tapi "turun" nya... Ujung dari setiap polemik mengenai masalah BBM ini sebenarnya adalah dari setiap kebijakan menaikkan atau menurunkan harga BBM ini sebetulnya siapa tho yang diuntungkan...Itulah pokok permasalahannya. Kalau perkara "merugikan", atau "dirugikan", saking seringnya mungkin sebagian masyarakat negeri ini merasakannya, jadi sepertinya daya tahan kekebalan tubuh alami nya sudah cukup kuat untuk tidak perlu mempersoalkannya. Bicara BBM tidaklah bisa lepas dengan kebijakan energi negeri ini, yang hingga saat ini sepertinya dirasakan masih "terbang di awang-awang" bagai "pungguk merindukan rembulan".

Kalau bicara soal Energi termasuk di dalamnya BBM, saya sering tidak "dong" atau paham...kalau harga naik, seolah-olah negeri ini turut mengalami kesulitan, tapi kalau harga turun ya sama saja, negeri ini yo tetap mengalami kesulitan dengan turunnya harga... Lha naik sulit, turun sulit...yak opo...sepertinya kok tidak ada pilihan yang enak.. Saya mencoba membandingkan dengan melihati ke Pak Toyo, penjual sate kere di Pasar Bringharjo, Jogja...kalau harga bahan bakunya naik dia memang merugi tapi kalau turun, dia senang "wong" untungnya jadi banyak..jadi ada pilihan yang enak... Padahal Pak Toyo itu hanya lulusan SD katanya...tapi dia memiliki kemampuan untuk mengambil manfaat dari situasi yang ada.. Kok BBM tidak bisa seperti Sate Kere ..? Apa jangan-jangan lebih baik negeri ini banting stir menggenjot produksi Sate Kere daripada BBM..? Yah mungkin pikiran saya yang tidak sampai...tapi komparasi yang menggelikan antara BBM dan Sate Kere, menurut saya patut untuk menjadi perhatian.

Presiden Sukarno dalam salah satu tulisannya "Shapping dan Reshapping" pada tahun 1957 an, menyebutkan dengan mengutip Hilverdink bahwa Imperialisme Belanda yang bekerja di Indonesia adalah Imperialisme Finance-Capital..salah satu bentuk Imperialisme yang memfokuskan pada penanaman modal yang mengarah pada eksploitasi sumber daya alam yang kemudian hasil dari eksploitasi itu di ekspor ke negara asal penjajah...Sumber daya alam Hindia Belanda dihisap sebanyak-banyaknya untuk di jual ke luar negeri....

Kalau dilihat perihal tata niaga sumber energi alam negeri ini, lha seolah-olah tidak menggubris, tidak ambil peduli, terhadap buah pikiran tokoh perintis kemerdekaan itu, yang sudah merelakan hari-harinya dihabiskan dalam penjara kolonial, menempuh resiko memproklamasikan kemerdekaan negeri ini...Undang-Undang No. 22/2001, yang pembuatannya banyak dipengaruhi campur tangan IMF, saja mengatur bahwa dari produksi gas alam cari nasional, 75% nya dijual ke luar negeri, dan 25% untuk kebutuhan dalam negeri...Komposisi tersebut berlaku sama dengan batu bara nasional...Jadi tidaklah mengherankan kalau di Indonesia terjadi krisis energi...harga minyak mahal, listrik byar pet ...jangankan di pedesaan, di kota-kota besarpun sudah mulai digilir jadwal "byar pet"nya.... Bahkan Pembangkit Tenaga Listrik di Cilacap pun pernah berhenti beroperasi karena pengiriman batu bara terlambat...kesulitan mendapatkan batu bara di suatu negeri yang merupakan salah satu dari enam negara produsen batu bara terbesar di dunia....Jadi kalau ada pepatah, kelaparan di lumbung padi...mungkin realita ini lah yang sedang dialami negeri ini untuk masalah energi..Bagaimana mungkin bisa mengembangkan energi alternatif minyak bumi jika sumber-sumber energi alternatif yang ada seperti batu bara dan gas alam, hanya di eksploitasi besar-besaran bagi negeri di luar sana... Kalau melihat Cina, maka justru 100% dari produksi nasional batu baranya diserap habis..bis untuk kebutuhan nasionalnya, bahkan cenderung import jika produksinya tidak mencukupi, jadi tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan terjadi di negara itu...

Memang ada yang menggunakan alasan bahwa produksi nasional jauh di atas kebutuhan nasional, sehingga konsentrasi ekspor dilakukan untuk memperkuat devisa negara...tapi apa ya se "pendek" itu dasar kebijakan tata niaga tersebut ditetapkan. Tidakkah pertumbuhan kenaikan harga minyak bumi, listrik yang byar-pet, dan masih banyaknya daerah-daerah yang dialiri listrik menjadi pertimbangan... Bukankah listrik di masa millenium ini tetap menjadi infrastruktur utama bagi bergulirnya roda ekonomi suatu daerah, masyarakat, dan negara... Memang fenomena budaya instan tengah melanda bangsa ini, sebagaimana pernah diulas oleh Bung Radhar Panca Dahana, salah seorang pemerhati budaya... Manusia Indonesia kini, menurutnya, lebih senang menonton hiburan yang melegakan daripada membahas dan mencari solusi hidup yang kian rumit... Lebih berkhayal tentang sukses yang gampang (lotere, undian SMS, atau korupsi, misalnya..) ketimbang "kerja yang keras dan susah"... Lebih suka bagi-bagi atau terima uang trilyunan rupiah dibandingkan dengan menciptakan lapangan kerja...

Ulasan Bung Radhar serasa cocok jika dikaitkan dengan fenomena kebijakan energi nasional dewasa ini...dengan ekspor, maka hasilnyapun lebih instan, tanpa harus bersusah payah membangun sendiri infratruktur2 pembangkit energi nasional, tanpa perlu repot memikirkan lapangan kerja apa yang cocok dan sesuai dengan masyarakat daerah tersebut... Dengan ekspor, aliran kas pun lancar, tanpa perlu bekerja keras.....devisa nasional semakin kuat. Devisa nasional yang kuat mampu menciptakan ilusi yang ampuh...mengesankan bahwa negeri ini bergerak menuju kemakmuran... Ilusi yang membanggakan tapi cukup membutakan atas realitas sosial yang terjadi sesungguhnya di tataran masyarakat.

Hal ini bisa dilihat dengan masih tingginya tuntutan rakyat akan rendahnya harga BBM... suatu tuntutan yang sebetulnya kurang rasional jika melihat bahwa dengan tidak lagi tingginya produksi nasional serta semakin tipisnya cadangan minyak bumi nasional, tidaklah mungkin untuk mengharapkan rendahnya harga BBM di negeri ini.. Di satu sisi, tingginya subsidi pemerintah nasional pada sektor BBM, membuat negeri ini menjadi tidak lincah dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi nasionalnya...Subsidi yang seharusnya lebih layak untuk dialokasi kan pada peningkatan sumber daya manusia, seperti sektor pendidikan, atau sektor pembangunan infrastruktur-infrastruktur perekonomian untuk meninggkatkan daya beli nasional, akhirnya dikorbankan hanya untuk menopang rendahnya harga BBM, yang nota bene terlalu dipaksakan... Tapi di satu sisi bagaimana BBM akan dicoret dari daftar tuntutan rakyat yang dominan, jika energi alternatifnya tidak ada... Bagaimana rakyat mau mengganti minyak tanah dengan LPG, kalau LPG nya kurang dan bahkan sering menghilang di pasaran...malah diekspor terus... Bagaimana PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) bisa dikonversi menjadi PLTU Batu Bara jika batu baranya masih sulit dijamin kontinuitas supplynya, karena terus menerus diekspor...

Sudah saatnya rakyat Indonesia sebaiknya bisa menikmati sumber daya alamnya sendiri, dibandingkan bangsa-bangsa di luar sana.. Masih ada kesempatan untuk merevisi dan memperbaiki kebijakan energi nasional dengan memprioritaskan kepentingan nasional terlebih dahulu..Menjelang habisnya masa kontrak2 penjualan dengan negara-negara pembeli, sudah saatnya pemerintah dan perusahaan-perusahaan energi nasional untuk mulai menggalakkan pembangunan terminal2 sumber energi (LNG atau Batu Bara) di setiap daerah yang kelak mampu meningkatkan distribusi energi ke segenap penjuru tanah air.. Dengan kesiapan infrastruktur distribusi nasional menjelang berakhirnya masa kontrak penjualan energi ke luar negeri, diharapkan kemampuan domestik untuk menyerap kapasitas produksi nasional pun dapat meningkat dengan tajam.. Tidak ada lagi byar pet listrik, Listrik Masuk Desa yang 20 tahun silam kerap didengarpun akan dapat kembali didengungkan, gas LPG untuk kebutuhan sehari-hari mudah didapat, dengan cukupnya kebutuhan energi alternatif, maka rakyatpun tidak akan terlalu banyak menuntut akan tingginya subsidi BBM.. Adalah menjadi sesuatu yang sempurna jika subsidi yang diperuntukkan untuk menopang harga BBM dapat dialihkan pada sektor2 pendidikan, dan pembangunan infrastruktur-infrastruktur ekonomi...

Masih ada kesempatan untuk merubah situasi, meski harus sabar menunggu karena rata-rata masa kontrak penjualan energi ke luar negeri itu berakhir hingga 2011...tapi itu lebih baik daripada tidak dilakukan sama sekali. Akan tetapi kembali, segala sesuatunya bisa terjadi, bahkan pada kondisi yang absurd sekalipun... Di situasi ini budaya memegan peranan yang sangat penting sekali, karena budaya mampu mengalahkan rasio dan logika berpikir... Jika budaya instan sebagaimana yang dikatakan Bung Radhar, masih melekat kuat pada pemegang kebijakan-kebijakan publik negeri ini dan juga masyarakat pada umumnya, maka perubahan arah kebijakan energi akan sulit diramalkan....Kebijakan Energi Nasional, Quo Vadis?"

Tidak ada komentar: