Kamis, 31 Desember 2009

Selamat Jalan Gus Dur ...


Tanggal 30 Desember 2009 di sore hari saat itu, selepas maghrib .. saya sedang "manteng" mengantri di warung Bakmi Pak Rebo di jalan Gondomanan (sekarang jl. Brigjen Katamso) ketika tersentak kaget membaca SMS dari istri saya yang mengabari kalau Gus Dur telah berpulang .... Sontak guyonan sy dengan para crew pemasak bakmi terhenti sejenak ....

Setelah sekian lama absen menulis di Blog, kemarin ketika melewati pabrik gula di Gondang dalam perjalanan saya ke Solo dalam rangka mau menunjukkan pada anak-anak saya tentang Keraton Surakarta, tiba-tiba saya terinspirasi untuk menulis sedikit tentang Gula ... suatu komoditi dunia yang tindak tanduknya sangat menarik untuk diulas... Namun peristiwa wafatnya KH Abdurrahman Wahid, membuat saya untuk sementara menggeser niat saya untuk menulis tentang Gula saat ini ...

Gus Dur, mungkin akan banyak orang sependapat kalau beliau itu memiliki kepribadian yang sangat unik... Sepak terjangnya selalu menjadi sorotan umum dan menjadi bahan polemik yang tidak habis-habisnya... Gus Dur selalu menyikapi suatu permasalahan dari sudut yang tidak biasa digunakan atau bahkan tidak terpikirkan oleh masyarakat pada umumnya, sehingga hal itulah yang menjadi pemicu munculnya polemik ataupun kritikan yang luar biasa tajamnya yang bahkan menyerang pribadi sang Kiai besar ini ...

Penerimaannya atas Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1983, tidak bisa dipungkiri merupakan suatu "terobosan" baru dalam dunia politik praktis di kalangan parpol & ormas Islam saat itu ... Dasar pemikirannya yang berusaha untuk semakin mem-bumi-kan Islam semakin terasa ketika Gus Dur memimpin NU utk kembali ke khittah, dengan menjauhkan diri dari dunia politik praktis, yang dianggapnya hanya akan membuat NU menjadi sesosok menara gading di tengah-tengah masyarakat yang mebutuhkan oase ke Islam an...

Kecurigaan masyarakat kepadanya atas kemungkinannya bermain mata dengan penguasa saat itu di era Orde Baru pun semakin memudar dengan kejelasan dan ketegasan sikapnya dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah saat itu yang dianggapnya menyimpang dan terakhir keterlibatannya penuh dalam proses Reformasi di tahun 1998 ...

Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden, juga tidak merupakan gaya dan karakter yang dimilikinya ... Diluar dari sepak terjangnya yang penuh dengan kontroversi, komitmennya untuk menjaga keutuhan bangsa dan usahanya untuk menjadi bapak yang "baik" dan "ngayomi" rakyatnya, membuatnya untuk bisa meyakinkan seluruh pihak terutama pendukungnya untuk mau mendukung Megawati maju dan memenangkan pemilihan Wakil Presiden, untuk meredamkan panasnya situasi politik saat itu. Keputusannya yang tegas untuk menerapkan "darurat militer" di Maluku, menyelamatkan umat Muslim dari pembantaian masal di wilayah itu. Keinginannya untuk menekan praktek korupsi di pemerintahanpun sangat terlihat baik dari ucapan mau tindakannya, dengan melakukan reformasi birokrasi yang cukup radikal dan membuat semua orang terhenyak melihatnya, meski belum adanya sistem pemberantasan korupsi yang efektif saat itu ...

Terkadang kita semua harus lebih bijaksana dan cermat dalam menyikapi seluruh sepak terjang Gus Dur yang penuh kontroversial itu. Masih teringat jelas bagaimana Gus Dur dihadapkan pada kemarahan sebagian besar kelompok muslim, ketika menyampaikan pendapat dan keinginannya untuk membangun hubungan dengan Israel... Mungkin saatnya kita merenung saat ini, apakah Gus Dur sedang berusaha menyampaikan pesan-pesan kepada kita semua, bahwa selama ini meski di tutup-tupi, hubungan antara Indonesia dan Israel memang sudah ada, kenapa pula harus dipungkiri... atau justru memang Gus Dur bermaksud memancing opini rakyat Indonesia yang sesungguhnya yang nota bene tetap mendukung perjuangan bangsa Palestina yang tertindas di negerinya sendiri untuk merdeka, guna menjauhi segala hubungan apapun dengan Israel. Bukankah ini merupakan wahana dirinya untuk mendidik bangsa ini?... Tegurannya kepada para anggota legislatif yang sempat membuat panas telinga, juga bisa disikapi dengan niatnya untuk mendidik bangsa ini untuk tidak terlarut pada "eforia demokrasi" yang keblinger atau kebablasan dimana "perbedaan" lebih ditonjolkan daripada "tujuan besar" yang harus dicapai bersama-sama. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya saat itu, dan di masa "transisi" politik yang sulit saat itu, Gus Dur telah menunjukkan komitmennya yang luar biasa untuk negeri dan bangsanya, yang berujung pada pengorbanan dirinya yang luar biasa untuk turun dari jabatannya selaku Presiden Republik Indonesia di tengah-tengah masa jabatannya.

Terlepas dari berbagai polemik mengenai diri beliau. Gus Dur tetap seorang negarawan sekaligus pendidik yang baik. Pengetahuan yang sangat luas membuatnya kadang atau bahkan sering berhadapan dengan masyarakat yang belum bisa memahami maksud dan tujuan dari tindakannya... Kelugasan dan keterus terangannya dinilai "aneh" di tengah situasi dimana eforia sikap "ketidak-jujuran" melanda negeri ini. Gus Dur bak Ki Lurah Semar bagi negeri ini.

Dalam etimologi Jawa, para pemimpin di negeri ini sesungguhnya adalah keturunan Pandawa dalam dunia pewayangan.. Dan keberadaan Semar sebagai pembimbing Pandawa tidak bisa tidak untuk diabaikan. Semar di sebut juga sebagai Badranaya, Badra artinya membangun sarana dari dasar, Naya atau Nayaka artinya yang ditugaskan. Jadi Badranaya adalah seseorang yang ditugaskan (dari Tuhan) untuk membangun karakter manusia. Semar sendiri berasal dari Haseming Samar-Samar merupakan wujud dari fenomena harafiah atas kehadiran dan tuntutannya yang samar-samar, yang perlu kajian dan pengamatan yang lebih dalam untuk kadang bisa mengerti ucapan maupun perilakunya. Semar itu tidak jelas, apakah dia lelaki atau wanita.. karena dia mampu untuk mengakomodir semua keunggulan lelaki maupun wanita dalam sosok tunggal dirinya. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar berjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”. Menghadap ke atas juga bisa diartikan dengan komitmennya untuk menyampaikan keterus terangan.. ke-apa ada nya tanpa embel-embel kepada setiap manusia yang ada di hadapannya. Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.

Dan saat ini, memasuki penghujung tahun 2010, kita semua telah kehilangan "Semar" negeri ini... Kehilangan yang cukup mengejutkan di tengah-tengah eforia semangat untuk menyongsong tahun 2010 sebagai tahun yang diharapkan akan lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di saat bangsa Indonesia masih terus harus membenahi dirinya... di saat kehadiran sosok "Semar" masih sangat diperlukan oleh bangsa ini.

Ya Allah, Sang Pencipta Alam Semesta Yang Maha Esa... kiranya Engkau memberikan yang terbaik bagi salah satu putera terbaik mu ini, untuk mendapatkan tempat yang terbaik di sisi Mu. Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk membalas segala jasa-jasa seorang KH Abdurrahman Wahid kecuali dengan memanjatkan doa ini kepadamu. Selamat jalan Gus Dur... selamat menemui Sang Khalik bisa memenuhi rasa kerinduanmu kepadaNya.

Kita hanya bisa berharap akan ada lagi Semar-Semar baru yang akan muncul untuk memberikan pencerahan kepada kita semua...karena hakikat Semar tidak akan pernah bisa mati.

Tidak ada komentar: