Sabtu, 22 Agustus 2015

MERAHNYA TOMAT Di DADA KU

70 Tahun sudah Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka secara de Facto. Secara formal. Setelah sebelumnya selama berabad-abad Bangsa Indonesia dikuasai oleh Penjajah. Berabad-abad menjadi bangsa yang di "plekoto", menjadi Bangsa "kelas dua"..

Pembacaan teks Proklamasi 70 tahun yang lalu telah merubah segalanya. Bangsa yang tadinya begitu "inferior" ini mendadak menggelegak.. Teriakan-teriakan dan pekik-pekik kemerdekaan mulai menggelar di seluruh pelosok negeri.

Bangsa yang tadinya begitu patuh, merunduk bagaikan pelayan yang setia dan sedia di perlakukan sewenang-wenang mendadak berubah menjadi Bangsa yang begitu gagah berani.. Gelombang ribuan pemuda dengan sebagaian besar hanya membawa bilahan bambu runcing, dan tanpa sepatu menghadapi sebuah kekuatan salah satu Bangsa pemenang Perang Dunia Kedua di Surabaya.. Juga diikuti dengan beberapa pertempuran lainnya di Ambarawa, Medan dan berbagai tempat di pelosok negeri ini...  Dalam waktu yang sangat singkat ribuan pahlawanpun lahir di negeri ini. Kemerdekaan adalah segala-gala nya. Tidak ada lagi apapun yang memiliki nilai lebih dari itu, termasuk adalah jiwa atau nyawa.. Merdeka atau Mati ! Tidak ada pilihan lain selain hidup untuk Merdeka atau mati berkalang tanah. Merdeka !

Saat ini Indonesia sudah berusia 70 tahun. Sebuah usia yang cukup matang bagi sebuah Bangsa atau Negara. Namun di usianya yang sudah demikian matang, negeri ini kerap "tersedak-sedak".. Kadang kalau negeri ini sedang tersedak, membuat saya kerap "keselak-selak" saat tengah menyeruput wedang ronde di beranda rumah..

Kurang lebih seminggu sebelum peringatan 70 tahun Indonesia Merdeka, para petani di Cikajang-Garut, Jawa Barat membuang hasil panen tomatnya ke selokan. Kurang lebih 20 ton tomat pun tercecer di selokan tanpa arti, dan dalam waktu tidak lama pun akan membusuk tanpa bisa dinikmati sementara di sisi lain sebagian besar masyarakat saat ini berjuang dengan penuh peluh ataupun ada yang berusaha selalu berhati-hati menggunakan sisa jumlah uang dari pesangon yang diterimanya setelah terkena PHK massal yang sedang marak di negeri ini akhir akhir ini untuk membeli bahan kebutuhan pokok yang harganya semakin berat saat ini.

Para petani membuang tomatnya karena hanya dihargai 200 rupiah per kilogram, sementara biaya yang dikeluarkan oleh para petani itu untuk mengangkut tomat nya itu ke tempat pengumpulan sebesar 500 rupiah per kilogram. Biaya tanam dari para petani sebesar 3.500 rupiah per kilogram. Jadi para petani tomat tersebut mengalami kerugian 3.800 rupiah per kilogram. Sementara harga jual tomat di tingkat pedagang mencapai lebih kurang 30.000-40.000 rupiah per kilogramnya..  Sungguh angka-angka yang cukup mencengangkan.  Ini yang membuat tidak hanya saya saja yang ke "selak-selak", tapi mungkin juga bagi para pembaca semuanya..

Tata niaga bahan kebutuhan pokok rakyat yang sepertinya terlupakan (semoga terlupakan dan bukan tidak dipikirkan) mulai menunjukkan dampaknya dalam kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Penyerahan mutlak kepada mekanisme pasar dengan minimnya campur tangan pemerintah telah memberikan kekuasaan besar kepada para tengkulak, penyalur-penyalur besar dan para spekulan dan menghancurkan ekonomi para petani, pedagang eceran dan ujungnya para konsumen ya kita-kita ini.

Saat saya kuliah di Belanda lebih kurang 12 tahun yang lalu, saya pernah mengunjungi Surga Tomat di dunia yang terletak di Zweethlaan, Honselersdijk kurang lebih 5 km sebelah barat The Hague/Den Haag. Tempat itu berupa green house berukuran 1.500 m2. Dan di dalam green house tersebut berisikan kurang lebih 50 jenis tomat, dari yang kecil sampai yang besar, dari yang asam sampai yang manis dan dengan berbagai macam warna bang-jo-ning alias abang ijo kuning, merah hijau dan kuning.. Lebih asyiknya di situ kita bisa mencicipi tomat-tomat itu dan menikmati berbagai varian rasanya.. luar biasa.

Tidak heran Joss van Mil pemilik kebun tomat tersebut membangun sebuah green house tersebut sebagai pusat informasi, pendidikan dan berbagi pengalaman diantara para petani tomat yang ternyata setelah usut punya usut,  Belanda ini ternyata merupakan negara eksportir tomat terbesar dunia.. wah lha rak elok tenan dalam hati saya..negeri yang hampir separuh permukaannya di bawah permukaan laut ternyata bisa menjadi Surganya Tomat.  Pada tahun 2003 Belanda menduduki peringkat pertama yang menguasai 23,9% dari pangsa ekspor tomat dunia, yang diikuti oleh Spanyol 20,5%, Meksiko 20,5%, Belgia 6,5%, dan Kanada 5,5%.  Dan saya dengar dari teman saya di sana bahwa di tahun 2008 tempat itu resmi bernama Tomato World.. Luar biasa.

Prestasi yang luar biasa tersebut tercipta karena tentunya ada apresiasi yang luar biasa terhadap para petani tomat di Belanda, sehingga para petani di sana mampu memacu produksi tomatnya secara luar biasa.  Seandainya tidak ada perhatian dan apresiasi, tentunya nasib tomat di Belanda akan sama dengan di Indonesia saat ini, masuk dalam selokan-selokan dan tempat sampah dan dibiarkan terlantar hingga membusuk. Dan para petani Belanda akan beralih jadi buruh kasar dan negerinya akan dibanjiri oleh tomat impor dari Spanyol, Belgia, Kanada, tapi yang jelas bukan dari Indonesia..

Permasalahan tomat di Indonesia tidak terlepas dari tidak adanya tata niaga bahan kebutuhan pokok yang berimbas pada tersumbatnya jaringan distribusi yang dikuasai oleh sekelompok kartel yang bisa dengan leluasa menetapkan harga baik di tingkat petani/produsen maupun di tingkat konsumen/masyarakat yang mengakibatkan pukulan tidak saja hanya di terima di tingkat konsumen tapi juga di tingkat petani maupun para pedagang eceran yang berekonomi kecil-menengah. Situasi ini yang akan mengakibatkan hancurnya sektor produksi tomat.. Petani akan meninggalkan budi daya tomat, kapasitas supply tomat nasional menjadi turun dan akhirnya akan tergantikan dengan tomat impor. Hal inilah yang sudah terjadi pada komoditas-komoditas gula, garam, sapi,  dan lain-lain. Sungguh ironis bagi sebuah negeri yang secara geografis bak Surga di dunia dengan iklim tropisnya yang abadi dengan kesuburan tanahnya yang tinggi dan telah menjadi Legenda sebuah Negeri Agraris yang kaya raya.

Peran pemerintah sudah saatnya mulai diperbesar kembali dalam mengatur tata-niaga bahan kebutuhan pokok. Ekonom-ekonom Keynessian sepertinya perlu mengambil peran yang lebih besar dalam menetapkan kebijakan ekonomi nasional.  Redefinsisi Bahan Kebutuhan Pokok Nasional yang diikuti pemberdayaan Perum Bulog untuk kembali menjadi Bulog dalam arti yang sesungguhnya sepertinya sudah tidak bisa ditawar-tawar kembali.

Program percepatan infrastruktur adalah salah satu program nasional yang brilian dan tepat, namun tanpa diikuti oleh pembaharuan tata niaga kebutuhan pokok laksana kuda membawa pedati tanpa roda. Haruskah negeri yang kaya ini kehilangan tomatnya, sebagaimana telah kehilangan gula, garam, sapi, dan masih banyak lagi...

Sesruput wedang ronde malam ini serasa kurang nikmat..  Apalagi belum selesai membahas soal tomat, datang lagi masalah kenaikan harga ayam potong. Wah jan, mungkin ini yang dimaksud Bung Karno dalam pidatonya bahwa apabila Bangsa ini ingin menjadi Besar haruslah selalu dalam situasi digembleng.. Hampir hancur lebur..Bangkit kembali... Hampir hancur lebur..Bangkit Kembali !

Tidak ada komentar: