Jumat, 31 Oktober 2008

Tahta Untuk Rakyat ...sebuah Renungan Kritis


Hari Selasa, 28 Oktober 2008, mungkin akan menjadi hari yang sulit dilupakan bagi kawula Yogyakarta..Karena bersamaan dengan Hari Sumpah Pemuda, di Alun-Alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat digelar acara Pisowanan Ageng, suatu wujud simbolisasi kesetiaan rakyat pada rajanya. Yang menjadi istimewa bukan Pisowanan Agengnya...yang jadi istimewa adalah sang Ngarsadalem, Sri Sultan, mengeluarkan statement nya untuk maju sebagai pemimpin nomor satu negeri ini. Suatu statement yang sudah cukup ditunggu oleh sebagian kalangan bangsa Indonesia.. Dan kawula negeri Yogyakarta yang hadir pun sontak memberikan dukungan tanpa reserve...

Peristiwa ini cukup menarik dicermati, karena statement Ngarsadalem itu dinyatakan saat RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, masih sengit digodog bagaikan "bakmi godog" di kalangan para wakil rakyat, yang begitu cerdas dan jelinya sehingga membutuhkan waktu sekian lama untuk memasaknya... Dulu waktu saya kuliah, kalau mau makan Bakmi Godog atau Bakmi Jawa, yang paling enak saat itu adalah Bakmi Moendijo, yang lokasinya persi di pertigaan jalan Bu Ruswo dengan jalan Gondomanan (jl. Brigjen Katamso sekarang). Bakminya eunak tanpa tanding...tapi kalau mau makan di situ minimal waktu tunggunya rata-rata 1 jam...meski begitu yang berkunjung, wah sampai antri untuk mendapatkan kursi...lha rak ampuh tenan. Semoga RUU yang "godog"nya lama ini akan bisa tersaji dengan enak dan memuaskan semua pihak sebagaimana Bakmi Moendijo, sehingga masyarakat terutama kawula Jogja yang sudah rela menunggu lama rela dan ikhlas menerimanya. Tidak dibayangkan kalau para pelanggan Bakmi Moendijo yang sudah rela menunggu 1 jam, bokong panas, badan keringatan, tahu-tahu Bakminya tidak enak...wah mungkin pada "misuh" atau menyumpah, bahkan lebih ekstrimnya lagi sang kokinya tidak bisa dipercaya lagi...dan orang-orang akan lebih senang cari bakmi godog di tempat lain.

RUU Keistimewaan (RUUK) Jogja saat ini sedang bergulat sambil tarik ulur, bagaikan kombinasi antara olah raga gulat dan lomba layang-layang...Kuncinya adalah di seputar peran Sri Sultan dan Sri Paku Alam. Masing-masing pihak saling berusaha memperjuangkan aspirasinya masing-masing....dari versi pemerintah mendudukkan kedua tokoh "mainstream" Yogyakarta itu sebagai Pararadya ... selayaknya pemangku adat. Fungsinya bersifat sangat normatif..dimana kedua tokoh itu hanya berfungsi memberi restu, tanpa kekuatan politik sama sekali. Sedangkan dari DPRD DIY mengajukan prinsip2 monarki konstitusional dimana Ngarsadalem dan Sri Paku Alam, memiliki wewenang politik yang lebih luas mencakup kewenangan menyetujui calon gubernur, veto terhadap keputusan-keputusan DPRD maupun gubernur, dsb.. Gubernur dan wakil gubernur akan dipilih melalui mekanisme demokrasi sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia. Tapi ada lagi pihak yang tetap menginginkan posisi Gubernur/Wakil Gubernur tetap dijabat oleh Ngarsadalem dan Sri Paku Alam...

Yogyakarta memang unik...dengan modal kearifan dua penguasanya semenjak kemerdekaan Republik ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Sultan Hamengku Buwono X, membuat kedudukan Sultan atau Raja begitu melekat di hati rakyatnya. Adalah sulit melepaskan Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, dan Sultan Yogyakarta...Berbeda dengan daerah2 lainnya di Indonesia yang nota bene juga dahulunya berupa kerajaan sebagaimana Kasultanan Yogyakarta. Dengan 3 falsafah kepemimpinan Sultan Yogyakarta, sebagaimana dinyatakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X saat penobatannya, sebagai sebuah tekad yang melandasi kepemimpinannya...maka semangat "Tahta Untuk Rakyat" yang menjadi idealisme Sri Sultan Hamengku Buwono IX, semakin diperkokoh pondasinya. Hamengku, Hamangku, dan Hamangkoni...itulah makna dari Hamengku Buwono sebenarnya. Sekilas mirip tapi ketiga idiom itu memiliki arti yang berbeda.

Makna Hamengku lebih pada penghargaan dan penjunjungan akan nilai-nilai dan harkat kemanusiaan yang menjadi tekad seorang Pemimpin untuk melayani kaum yang dipimpinnya. Hamangku menitik beratkan pada pengayoman, penerapan asas-asas keadilan, memberi semangat dan motivasi, serta konsistensi dalam penegakkan hukum. Sedangkan Hamangkoni adalah fungsi keteladanan, dimana Pemimpin harus menempatkan dirinya sebagai teladan atau panutan pada kaum yang dipimpinnya...

Sudah saatnya sebagian kawula atau rakyat Jogja yang saat ini masih menuntut rajanya untuk tetap menjabat sebagai Gubernur, untuk dapat lebih "legawa"...lebih "ikhlas" untuk menyumbangkan rajanya yang "agung" demi kepentingan yang lebih besar...demi para kawula dari provinsi lain..Bukankah rakyat Indonesia yang lain perlu untuk di "Hamengku", "Hamangku", dan "Hamangkoni"... Terus kalau nanti kalah bagaimana?...Jangankan untuk Pilpres...di konvensi partai yang diikuti Ngarsadalem pun, pertarungan pastilah sangat sengit. Tapi bukankah Ngarsadalem tetap seorang Raja..Sultan. Dengan konsep RUUK yang dibawa oleh DPRD DIY, beliau bak seorang Raja di Yogya, sebagaimana Bumiphol Adulyadei di Muang Thai ataupun Queen Elizabeth II di Inggeris. Beliau punya kekuasaan untuk memimpin negerinya, mesti tidak memerintahnya secara langsung. Beliau berhak mengevaluasi segala kinerja baik dari lembaga eksekutif dan legislatif daerahnya... Bukankah suatu realita yang patut diterima di zaman demokrasi ini bahwa kedudukan raja sebagaimana diinginkan oleh Olivier Cromwell di Inggeris atau oleh Camille Desmoulint, tokoh Revolusi Perancis di Paris, saat awal Revolusi Perancis, bahwa "The King should stay to reign, but not to rule", Raja tetap Berkuasa tapi tidak lagi memerintah...karena pemerintahan di jalankan rakyat melalui mekanisme demokrasinya. Dengan mekanisme ini maka fungsi "Patih" atau Prime Minister bisa dijalankan oleh Gubernur... Atau untuk lebih menjaga keutuhan legitimasi Keraton Ngayogyakarta, bisa saja Ngarsadalem menganugerahi Gubernur terpilih dengan gelar patih Kasultanan Yogyakarta, yaitu Kangjeng Raden Adipati Danureja....Dengan adanya patih atau gubernur, maka Kasultanan Yogyakarta akan memiliki ketahanan yang lebih kuat untuk mengarungi berjalannya zaman... Jabatan rangkap Sultan dengan Gubernur akan menghadapi resiko yang tinggi jika kapasitas sang raja atau "Sultan" yang menjabatnya tidak mencukupi.. Memang Ngarsadalem dan pendahulunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki kapasitas yang cukup, tapi kita tidak tahu bagaimana kapasitas Sultan yang berikutnya...

Patut juga untuk direnungkan...bahwa dahulu saat Gusti Raden Mas Dorojatun (kelak sebagai Sri Sultan HB IX) berani menolak term-term kontrak yang diajukan pemerintah penjajahan Belanda, bukankah saat itu masih ada Patih Danureja. Pada masa reformasi 1998, saat Ngarsadalem membacakan maklumat di Alun-alun Utara, Yogyakarta, beliau belum menjabat sebagai Gubernur DIY..Mungkin akan berbeda alur sejarahnya apabila kondisinya berlainan dengan saat itu. Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa Raja atau Sultan akan lebih mampu untuk menjalankan fungsi utamanya sebagai seorang Raja jika tidak terikat dengan tugas-tugas administratif pemerintahan...Raja memiliki ruang gerak yang lebih bebas...untuk bisa Hamengku, Hamangku, dan Hamangkoni para kawulanya..Urusan pemerintahan dan administrafif pemerintahan biarlah para wakil rakyat dan gubernur pilihan rakyatlah yang mengurusinya..Bukankah Sri Sultan HB IX sudah menegaskan bahwa "Tahta untuk Rakyat"..

Seharusnya perhelatan untuk RUUK DIY ini dapat segera diakhiri... Pemerintah pusat harus lebih legawa untuk memberikan kesempatan bagi "kawula" Yogyakarta yang telah setia berkomitmen bagi terlahirnya republik ini untuk tetap dapat mengaktualisasikan dirinya dalam terwujudnya aspirasi mereka. Biarkan Kasultanan Yogyakarta dan pemerintahan daerahnya berdiri sebagaimana keinginan mereka.. Disatu sisi para kawula Yogyakartapun akan merelakan rajanya..Sultannya..untuk maju ke gelanggang pilpres .. maju untuk menjadi milik Bangsa.

Tidak ada komentar: