Sabtu, 09 Januari 2010

Gulaku sayang ... Gula Indonesia


Saat melintas Pabrik Gula Gondang di wilayah Kabupaten Klaten dalam perjalanan saya dari Jogja menuju Solo, terbersit pemikiran untuk sedikit corat-coret tentang gula .. ditambah lagi dengan adanya berita yang saya baca salah satu artikel di Harian Kedaulatan Rakyat (KR) tgl 30 Desember 2009 tentang kenaikan harga gula dunia ....

Gula tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita, terlebih wong Yoja seperti saya ini... Di Jogja itu apa-apanya mesti pakai gula ... Pesan teh dengan hanya mengucap "teh" tidak perlu diberi embel-embel "manis" di belakangnya di warung-warung di pelosok negeri bumi Mataram ini pasti otomatis rasanya sudah manis, alias diberi gula. Jogja memang terkenal dengan makanannya yang dicap manis, meski oleh orang Solo, yang notabene saudara (sangat) serumpunnya itu. Gudegnya manis...ayam gorengnya juga manis...gule & tongsengnya manis ... sop nya juga manis...dan lebih lagi ada camilannya yang luar biasa manisnya yaitu geplak.. Salah satu makanan khas Jogja, berasal dari Bantul, yang terbuat dari kelapa yang diliputi dengan gula... Saking manisnya makanan ini, kadang gigi pun terasa linu saat mengunyahnya... tapi tetap maknyus, seperti kata Bondan Winarno. Tidak heran waktu saya kecil, saya kerap sekali mendengar kerabat kakek & nenek saya banyak yang terkena sakit gula alias diabetes..  kemungkinan besar karena saking tingginya budaya konsumsi gula saat itu.

Pabrik Gula Gondang ... tua, usang, kosong, dan tak terawat. Dari letaknya, saya yakin bahwa dahulu pada masa pra-kemerdekaan, pabrik gula itu adalah merupakan salah satu ujung tombak pemutar roda perekonomian Kadipaten Mangkunegaran, karena Kab Klaten masuk dalam yuridiksi wilayah Kadipaten tersebut. Pabrik Gula Gondang bak bayangan kejayaan gula masa lalu... ketika pada masa cultuur stelsel, ke-empat Swapraja dalam Vostelanden (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Paku Alaman) menjadikan gula sebagai salah satu komoditas pokok negerinya dengan membangun pabrik-pabrik gula di wilayahnya masing-masing. Perlu diketahui bahwa ternyata pada tahun 1930, negeri ini pernah menjadi exportir gula dengan jumlah ekspor mencapai 2,4 juta ton/tahun dari produksi nasional 3 juta ton/tahun (diatas dari produksi nasional saat ini) yang didukung 179 pabrik gula beroperasi aktif.

Meneruskan jalannya sejarah, pemerintah pun saat ini tetap menjadikan gula sebagai salah satu komoditas khusus, disamping ketiga komoditas lainnya yaitu beras, jagung, dan kedelai. Kalau beras, dan jagung sudah berswasembada, gula saat ini masih belum. Peningkatan konsumsi gula nasional yang tumbuh secara signifikan belum bisa diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi gula nasional. Konsumsi gula per-kapita di Indonesia mencapai 12 kg. Dan saat ini total konsumsi gula nasional mencapai 4,85 juta ton per-tahun. Dibandingkan dengan kapasitas produksi gula nasional saat ini yang baru mencapai 2,4 juta ton (data th 2007) dan target 2,8 juta ton pada tahun 2009 lalu, yang belum diumumkan apakah tercapai atau tidak hingga saat ini.. Mungkin berita tentang gula kurang begitu populer dibandingkan dengan topik berita "Bank Century" saat ini.

Permintaan gula nasional memang luar biasa... sungguh ironis melihat pabrik-pabrik gula usang tak terawat di tengah-tengah besarnya gap antara kebutuhan konsumsi dan produksi. Kadang saya membayangkan asap pabrik-pabrik gula tua itu mulai kembali "ngepul", atapnya yang bolong-bolong diganti dengan yang baru, dindingnya dicat lagi, lori-lori pengangkut tebu kembali berlalu lalang mengangkut tebu dari petani masuk ke dalam pabrik, dan puluhan atau ratusan pekerja aktif dalam pabrik, hitung-hitung bisa mengurangi tingginya angka pengangguran, atau mengurangi jumlah pengiriman TKI ke luar negeri. Dampak gula terhadap perkembangan ekonomi nasional dan perbaikan struktur ekonomi nasional seharusnya jauh lebih penting dibahas dibandingkan membahas berita-berita gosip yang sarat dengan politisasi..

Penurunan produksi gula nasional dimulai sejak diterapkan regim perdagangan bebas, dimana dalam satu dekade sejak 1994-2004 ditandai dengan pertumbuhan impor gula yang mencapai laju 7,8%/tahun dan penurunan produksi mencapai 1,8%/tahun. Hal ini sungguh ironis apabila dilihat dengan kemampuan penyerapan industri gula yang cukup tinggi (saat ini industri gula yang ada telah melipatkan 1,4 juta petani & tenaga kerja) serta tingginya beban devisa impor gula yang terus meningkat hingga saat ini sudah mencapai 200 juta US$ (data Dirjen Perkebunan, 2000). Lebih jauh lagi, gula yang masuk dalam kategori bahan kebutuhan pokok, secara otomatis berperan langsung dalam laju inflasi. Pengaruh inflasi bisa dilihat sekilas dalam posting Saksruput Tentang Inflasi. Dengan membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48% akan berpengaruh negatif terhadap upaya pencapaian ketahanan pangan (Pakpahan, 2000; Simatupang et al. 2000).

Kalau melihat kondisi di atas, kadang sangat mengganggu kenikmatan saya kala menyeruput secangkir wedang kopi "made in Indonesia" yang membanggakan ataupun semangkuk wedang ronde yang nikmat, karena saya selalu menyertakan 2-3 sendok teh gula pasir, yang hingga saat ini belum bisa membedakan mana yang gula impor mana yang bukan pada saat membeli..  Tambah tidak enak lagi apabila menikmati salah satu dari kedua minuman itu sambil membaca berita di koran kemarin Rabu, tgl 6 Januari 2010 kemarin yang memberitakan Bulog baru saja menanda-tangani kontrak impor gula dari Thailand. Kebijakan yang tidak enak tapi secara realita juga tidaklah bisa untuk dihindari mengingat stok gula nasional yang tidak mencukupi.

Semoga dengan diterapkannya Regim Kebijakan Terkendali yang mulai berjalan sejak tahun 2002 hingga saat ini, mampu untuk konsisten menaikkan produksi gula nasional sekaligus menciptakan Swasembada Gula di masa yang akan datang. Kebijakan terkendali ini diambil sebagai koreksi atas regim "Perdagangan Bebas" yang ditetapkan sejak 1994 - 2001 yang jelas secara nyata telah melemahkan industri gula nasional.

Alon-alon waton kelakon, begitu pameo yang saat ini berlangsung dalam pemulihan industri gula nasional. Perlahan, tapi pasti dengan tingkat laju pertumbuhan produksi 1%/tahun, tahun 2007 produksi gula nasional sudah mencapai 2,4 juta ton/tahun dari kemampuan produksi gula nasional yang hanya 1,7 juta ton/tahun pada akhir tahun 2001. Sebagai gambaran produksi gula nasional pada tahun 1994 sebesar 2,2 juta ton/tahun (hasil dari regim stabilisasi).

Semoga dengan terciptanya swasembada gula di masa mendatang, kita bisa dengan bangganya menyeruput secangkir wedang kopi yang 100% buatan asli negeri sendiri... Cangkir, sendok, kopi, dan gulanya asli dari Indonesia.

Tidak ada komentar: